Mohon tunggu...
Bubup Prameshwara
Bubup Prameshwara Mohon Tunggu... Operator - Uyeah

Kadang saya memikirkan apa yg terjadi di indonesia ini, sungguh bikin "miris". Tapi kadang saya juga merasa tak ada gunanya memikirkan apa yg sedang saya pikirkan :O

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pesona Cincin Api dalam Tari Kecak

21 September 2011   14:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_136465" align="aligncenter" width="640" caption="Tari Kecak (Sumber: KOMPAS IMAGES/I MADE ASDHIANA)"][/caption] Gunung Agung, Kesakralan yang Diagungkan Gunung Agung yang terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, menjadi salah satu tempat tujuan dalam Ekspedisi Cincin Api. Gunung setinggi 3142 mdpl yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali ini dipastikan bagian atas tertutup awan. Gunung ini pula tercatat mengalami letusan terdahsyat pada tahun 1963 (selengkapnya disini dan disini). Akibat dari letusan dahsyat tersebut, hingga kini bekas aliran lava yang mengarah ke utara lereng gunung masih bisa kita lihat bekasnya. [caption id="attachment_131451" align="alignleft" width="250" caption="Gunung Agung yang selalu diselimuti awan (indonesia-travel-guide.com)"][/caption] Beruntung pada 2008 lalu saya mendapat kesempatan jalan-jalan ke pantai Lovina yang terletak di Kabupaten Buleleng, tak jauh dari ibukota kabupaten, yakni di Singaraja. Berangkat dari Denpasar, kami sengaja memilih jalur memutar via Kabupaten Karangasem atau memutar sepanjang pantai timur Pulau Bali hingga ke utara (berbeda ketika saat 2002 lalu saya sering ke Singaraja via Bedugul). Saat telah melewati Amlapura, rombongan kamipun sengaja memperlambat laju kendaraan dengan tujuan agar lebih bisa menikmati alam sekitar, meski harus kami akui bahwa Kabupaten Karangasem bisa dikatakan sebagai daerah paling gersang daripada daerah lain di Bali. Sepanjang perjalanan kami bisa lihat banyak sekali pohon lontar, karena pohon yang termasuk dalam keluarga palem inilah yang cocok dan bagus bertahan hidup pada kondisi tanah yang gersang. Nah dari pohon lontar inilah dihasilkan tuak yang disadap dari bunga maupun dahan lontar yang masih muda (loh koq jadi ngomongin tuak, hahaa). Jalan berliku dan naik-turun tak menyurutkan semangat kami dalam menikmati pesona alam Karangasem. Ketika melewati pantai bagian timur laut, sepanjang perjalanan kami dapat menyaksikan bekas kedahsyatan letusan Gunung Agung pada 1963 lalu. Beberapa sungai selebar 200-500an meter (tanpa air) banyak sekali kami lihat di sepanjang perjalanan. Di sungai yang tidak ada airnya tersebut, hanya bisa kami lihat batu-batuan dari ukuran kerikil hingga yang besar, lautan pasir akibat letusan, dan rumput liar yang tumbuh disana-sini. Inilah sisa kedahsyatan dari letusan Gunung Agung yang masih bisa kita lihat hingga kini. Bagi para pendaki, ada tiga jalur utama yang bisa dilalui bila ingin mencapai puncak Gunung Agung. Jalur dari selatan adalah dari kecamatan Selat (Kab. Karangasem) dengan basecamp di Pura Pasar Agung lewat pasar Selat. Jalur dari tenggara adalah dari Budakeling lewat Nangka. Sedangkan jalur dari barat daya yang merupakan jalur pendakian yang umum digunakan oleh para pendaki yaitu dari Pura Besakih (Kec. Selat, Kab. Karangasem). Karena banyak peristiwa kecelakaan dan hilangnya beberapa pendaki, maka sejak Mei 2009 setiap pendakian Gunung Agung lewat Sebudi, Selat, Karangasem harus memakai jasa pemandu untuk mengantisipasi kecelakaan maupun hal-hal yang tidak diinginkan. Disarankan pula untuk para pendaki agar tidak membawa makanan yang berbahan daging sapi, karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa sapi adalah binatang yang disucikan oleh masyarakat Bali pada khususnya dan orang Hindu pada umumnya. Sapi adalah binatang sakral sekaligus merupakan kendaraan para dewa, apalagi Gunung Agung bagi masyarakat Bali adalah gunung tempat bersemayamnya para dewa-dewi. Karena kesakralan inilah disarankan pula agar wanita yang sedang menstruasi dilarang ikut dalam pendakian. Keindahan Tari Kecak [caption id="attachment_131452" align="alignleft" width="400" caption="Tari Kecak saat sunset di Uluwatu (e-kuta.com)"][/caption] Tari Kecak atau yang biasa dikenal dengan sebutan Monkey Dance ini oleh I Wayan Limbak dan seorang seniman asal Jerman bernama Walter Spies (bukan Ben Spies loh ya, kalo Ben itu pembalap), dikembangkan berdasarkan ritual Sanghyang, yaitu ritual dimana pelaku ritual dalam kondisi tak sadarkan diri (bila dalam bahasa Bali disebut 'kerauhan', atau kesurupan bila dalam bahasa Indonesia) dan mampu berkomunikasi dengan Dewa maupun roh-roh para leluhur. Tari Kecak ini dilakukan oleh puluhan penari laki-laki dan beberapa penari utama yang memperagakan alur cerita. Mengenai rekor penari paling banyak adalah Tari Kecak oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan 5000 penari yang pertunjukannya dilaksanakan di Tanah Lot pada 29 September 2009. Tari Kecak ini sendiri sering dipentaskan di Pura Uluwatu, yaitu di perbukitan Bali bagian selatan. Sedangkan bagi yang ingin dengan mudah menyaksikan Tari Kecak dapat memilih menyaksikan di Batu Bulan, Kecamatan Gianyar. Untuk mencapai Batu Bulan pun cukup mudah karena tersedia bemo (di Bali, angkot disebut Bemo) jurusan terminal Ubung-Batu Bulan. Untuk puluhan penari yang berbaris mengelilingi penari utama membentuk lingkaran ini pakaian yang dikenakan adalah celana dan Kain Poleng yang dililitkan menutupi sebagian celana, sedangkan untuk atasan para penari ini hanya bertelanjang dada. Bagi puluhan penari ini kedua tangan diangkat keatas dengan telapak tangan membuka lebar dan kadang telapak tangan digoyang-goyangkan sambil menyanyikan "cak..cak..cak". Hitungan (cak) yang dinyanyikan oleh para penari pun berbeda-beda di tiap daerah, dan berbeda pula tergantung alur cerita. Ada yang menggunakan tiga hitungan "cak..cak..cak" maupun empat hitungan "cak..cak..cak..cak", sedangkan bila saat alur peperangan hitungan cak yang digunakan pun semakin rapat dan berkesinambungan "cak.cak.cak.cak.cak.cak" dst. Cerita yang diperagakan dalam Tari Kecak adalah mengambil kisah Ramayana. Dan inilah 5 scene dalam Tari Kecak yang disadur dari baliliburanku.com : Scene 1 Rama, Shinta dan Laksmana sedang berada dalam hutan tiba tiba muncul seekor kijang emas (penjelmaan dari pembantu Raja Rahwana yang ditugaskan untuk memancing agar Rama meninggalkan Shinta sendirian) mendekati mereka kemudian menjauh seakan ingin mengajak mereka bermain melihat kijang yang lucu tersebut Shinta minta kepada Rama untuk menangkapnya. Sebelum Rama pergi meninggalkan Sita, Rama minta adiknya Laksmana menjaga Shinta, kemudian Rama meninggalkan Shinta dan Laksmana untuk mengejar kijang emas yang berlari menjauh. Tak selang beberapa lama kemudian terdengar suara kesakitan yang mirip suara Rama minta tolong. Mendengar itu Shinta merasa cemas kemudian minta Laksmana untuk menyusul Rama. Laksmana tidak percaya kalau suara itu adalah suara Rama karena dia tahu Rama tidak mungkin dapat dilukai oleh sekor kijang. Namun Shinta tidak mau mengerti dia malah marah pada Laksmana dan menuduh Laksmana sengaja membiarkan Rama mati sehingga dia bisa mengawini Shinta kelak. Karena terus didesak oleh Shinta akhirnya Laksmana mau pergi menyusul Rama. Sebelum meninggalkan Shinta sendirian Laksmana membuat lingakaran dan minta Shinta untuk tetap berada dalam lingkaran. Setelah Laksmana pergi kemudian muncul sorang pendeta yang sebenarnya adalah penjelmaan Rahwana. Pendeta ini minta air kepada Shinta. Karena merasa iba Shinta memberikan air kepada pendeta tersebut dengan menjulurkan tangannya keluar lingkaran. Seketika itu juga pendeta tua itu berubah menjadi Rahwana, kemudian membawa Shinta pergi. Scene 2 Dikisahkan Shinta telah berada di Kerajaan Alengka ditemani oleh Trijata – kemenakan dari Rahawana yang ditugaskan untuk menjaga Shinta. Shinta terlihat sedih menangisi nasib yang menimpanya sanbil terus berharap Rama datang untuk menyelamatkannya. Kemudian muncul Kera Putih (Hanoman) yang merupakan keponakan kesayangan Sugriwa, sahabat Rama. Pada awalnya Shinta mengira Hanoman ini juga merupakan penjelmaan Rahwana, namun setelah Sang Hanoman menjelaskan bahwa dirinya adalah utusan dari Rama, serta menyerahkan cincin sebagai bukti, kemudian Shinta memberikan bunga kepada Hanoman untuk diserahkan kepada Rama. Sebelum meninggalkan kerajaan Alengka, Hanoman membakar taman dan beberapa tempat di kerajaan Alengka sebagai pesan pada Rahwana bahwa Rama akan datang untuk menyelamatkan Sita. Scene 3 Peperangan dimulai, Rama dengan pelayannya bernama Tualen serta bala tentara kera yang merupakan bantuan dari Sugriwa tiba di Alengka untuk menyerang dan menghancurkan kerajaan yang dipimpin oleh Rahwana ini. Pada awal pertempuran putra Rahwana yang bernama Megananda serta pelayannya Delem berhasil mengalahkandan mengikat Rama dengan kekuatan sihirnya sehingga Rama serta anak buahnya tidak bisa bergerak dan menjadi lemas. Kemudian Rama berdoa memohon kepada para Dewata untu k menyelamatkannya, kemudian munculah seekor burung garuda (Jatayu) membantu Rama melepaskan diri dari sihir Megananda. Scene 4 Kemudian Rama beserta tentaranya kembali pulih seperti sedia kala lalu Rama memerintahkan Raja Kera Sugriwa untuk melawan Megananda. Pada scene ini para penari cak akan membentuk 2 kelompok satu kelompok menjadi tentara Megananda, satu kelompok yang lain menjadi tentara Sugriwa. Dalam pertempuran ini Sugriwa berhasil mengalahkan Megananda. Kemudian para penari cak kembali menjadi satu kelompok. Scene 5 Diceritakan bahwa Rahwana telah dapat dikalahkan dan Rama berkumpul kembali dengan  Shinta. Pertemuan mereka ini disaksikan oleh Laksmana, Sugriwa dan Hanoman. Filosofis Tari Kecak Tari Kecak dengan cerita Ramayana, dapat pula diartikan sebagai pesan moral agar manusia ingat kepada sang pencipta yaitu Sang Hyang Widhi Wasa, bersahabat dengan alam (digambarkan sebagai hubungan dengan Dewa Wishnu, sang pemelihara alam) dan menghormati Dewa Syiwa (pelebur alam) agar terhindar dari segala macam bencana yang sebenarnya juga merupakan hukum keseimbangan, salah satu contohnya adalah letusan vulkanik Gunung Agung. Berikut adalah sedikit kesimpulan yang saya peroleh dari hasil perbincangan dengan rekan saya saat di Bali 2008 lalu. (dan tambahan dari rekan kompasianer, mas Kresnap) Scene 1 Keadaan penuh kesenangan antara Rama dan Shinta adalah hal yang sama seperti keadaan alam di Bali. Tanah yang subur, laut dan pantai yang indah, kekayaan alam yang melimpah, dan masyarakat yang damai. Scene 2 Alur dimana Shinta diculik adalah menggambarkan bahwa masyarakat yang mulai mendapatkan peringatan-peringatan kecil dari Dewa Wishnu karena tak mampu menjaga alamnya. Inilah tahap selanjutnya dari siklus alam menurut ajaran Hindu, yang senantiasa “menyeimbangkan dirinya”. Scene 3 Alur dimana terjadi peperangan besar terjadi, menggambarkan bahwa Dewa Syiwa mulai meleburkan sekaligus memberikan kesempatan bagi makhluk-makhluk hidup untuk menuai buah karma masing-masing. Peleburan ini salah satunya berupa letusan gunung berapi yang meluluh-lantakkan masyarakat Bali dengan api yang berupa lahar panas dari Gunung Agung, serta kegelapan karena debu, awan panas, dan kabut asap yang dihasilkan dari ‘amukan’ Gunung Agung. Scene 4 Alur dimana Rama beserta bala tentaranya dibebaskan dari belenggu, bermakna bahwa setiap bencana dan musibah yang diberikan adalah agar manusia ingat kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan memahami siklus keseimbangan hidup. Dan dari musibah bencana tersebut selalu ada pertolongan dari Sang Pencipta, tinggal manusianya yang mau bersyukur atau tidak. Scene 5 Alur dimana Rama dapat membebaskan Shinta, bermakna bahwa kebahagiaan akan datang asalkan manusia mau membangun kembali dan tidak melanggar kodrat dengan selalu memperhatikan segala aspek yang berkenaan sesuai ajaran Hindu. Semua bisa dirubah menjadi lebih baik meski sebelumnya Gunung Agung telah melebur apa yang ada dengan tujuan mewujudkan harmoni yang selalu berkesinambungan. Itulah yang bisa saya simpulkan dari perbincangan ringan tentang makna Tari Kecak. Semoga kita sebagai manusia selalu ingat terhadap Yang Maha Kuasa (vertikal, dalam Hindu disebut Parahyangan), baik terhadap sesama (horisontal, dalam Hindu disebut Pawongan), dan mau menjaga dan merawat alam (natural, dalam Hindu disebut Palemahan).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun