Semakin nyata bahwa yang menjadi biang kisruh persepakbolaan Indonesia, salah satunya adalah klub-klub. Demi memuluskan ambisinya terhadap suatu kepentingan, klub seringkali membatasi gerak pemainnya. Dalam kondisi seperti ini pemain mau tidak mau harus nurut terhadap siapa bosnya (klub) karena disitulah tempat dia bernaung sebagai pemain. Yang terbaru adalah Diego Michiels, pemain naturalisasi usia 21 tahun ini kini menjadi korban atas sikap emosional mantan klubnya, Pelita Jaya.
Manajer Pelita Jaya, Lalu Mara Satriawangsa mengatakan, "Dia (Diego) dipastikan kesulitan main di klub mana pun karena ITC-nya di Pelita Jaya". Ditambah lagi pernyataan sikapnya, "Enggak akan kita lepas ITC-nya. Main di kutub pun dia membutuhkan ITC, kecuali main di tarkam". (kompas.com)
Sebelumnya, Lalu Mara menuduh Limbong yang mengancam Diego agar meninggalkan Pelita Jaya. Kenyataan berbicara lain, Diego menyatakan tak ada ancaman dari siapapun. Sekarang keadaan berbalik mental 180 derajat, Pelita Jaya kinilah yang mengancam Diego dengan masalah ITC. Lebih parahnya, Pelita Jaya juga akan mengumumkan ke seluruh dunia melalui media release agar tak ada klub yang mengontrak dia jika tak mau berurusan dengan Pelita dan FIFA. Sekalipun masa kontraknya dengan Pelita sudah habis, Diego belum boleh dikontrak klub mana pun sebelum tuntutan ganti rugi dari Pelita dibayarkannya. Sekarang publik bisa menyimpulkan siapa yang dituduh mengancam dan siapa yang memang benar-benar mengancam.
Mungkin Safee Sali yang juga pemain Pelita Jaya, akan mengalami hal serupa bila memutuskan hengkang. Namun untuk Safee, keadaan sedikit berbeda karena kontraknya memang akan segera berakhir. Lalu Mara mungkin tidak menyimak butir keempat dari surat FIFA (21/12) yang mengatakan :
"Pemain yang bermain di ISL, tidak bisa ditransfer ke luar negeri. Transfer Matching System (TMS) mereka akan dicabut. PSSI diminta menyampaikan kepada FIFA dan AFC daftar nama-nama yang ikut ISL" (okezone)
Atau bila memang Lalu Mara mengancam masalah transfer-mentransfer dalam koridor FIFA, mungkin dia lupa juga dengan pernyataan CEO PT Liga Indonesia, Djoko Driyono, yang merupakan turnamen tempat Pelita Jaya sekarang bermain.
"Kami tidak ingin mengomentari itu, karena tidak ada hubungan langsung antara FIFA dengan kami di ISL", kata Djoko Driyono saat menanggapi surat FIFA." (tribunnews)
Sungguh aneh kan jek? Lalu Mara bicara koridor FIFA, tapi CEO PT LI tempat klubnya bernaung malah menyatakan tidak ada hubungan antara FIFA dan ISL. Bisa saja nanti keadaan berbalik bila memang PSSI mengabarkan kepada FIFA bahwa Pelita Jaya adalah salah satu klub yang "mbalelo", akhirnya TMS Safee Sali dan pemain lainnya juga akan otomatis terbentur legalitas FIFA.
Berkaca pada beberapa kejadian diatas, seharusnya Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional Indonesia yang saat ini diketuai oleh Ponaryo Astaman, bisa membantu kasus yang sedang dialami oleh Diego Michiels yang saat ini mendapat ancaman dari mantan klubnya. Diego yang pada awal keputusannya mau dinaturalisasi adalah agar bisa bermain untuk timnas Indonesia, kini serasa seorang diri menghadapi permasalahannya tanpa ada bantuan dari asosiasi pemain.
Ponaryo menjelaskan, dalam kontrak pemain dengan semua klub, ada klausul yang menyatakan klub-klub itu harus tampil di kompetisi resmi PSSI. Jika tidak, pemain bisa membatalkan kontrak. (kompas.com)
Seharusnya ini menjadi senjata bagi para pemain agar tetap mendapatkan hak-haknya, terlebih hak untuk berkesempatan membela Merah-Putih dalam ajang pertandingan internasional. Tapi ternyata kini baru seorang Diego Michiels saja yang gagah berani memperjuangkan haknya, walaupun dengan resiko yang amat menyakitkan, yakni "serasa sendirian memperjuangkan haknya". Mengenai kenyataan Pelita Jaya yang mengancam Diego Michiels, sebenarnya Ponaryo dan para pemain ISL lainnya sudah mengetahui bahwa memang secara langsung maupun tidak langsung ada tekanan-tekanan tertentu yang dilakukan oleh klub-klub terhadap pemainnya. Hal ini tersirat dari pernyataan dibawah ini :