Mohon tunggu...
Bubup Prameshwara
Bubup Prameshwara Mohon Tunggu... Operator - Uyeah

Kadang saya memikirkan apa yg terjadi di indonesia ini, sungguh bikin "miris". Tapi kadang saya juga merasa tak ada gunanya memikirkan apa yg sedang saya pikirkan :O

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Inikah Ciri-ciri Wartawan Bodrex atau Wartawan Pesanan?

2 Maret 2012   22:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hmmz, saya ingin menghela nafas dulu yang panjang. Sejujurnya saja, dalam waktu belakangan ini saya banyak fokus dalam menyimak kanal-kanal berita tentang sepakbola dalam negeri. Baik di media-media terkenal maupun menyimak para audiens dari jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan tak ketinggalan pula menyimak di kompasiana dan kaskus. Dan untuk hal ini, bisa dibilang saya mengorbankan kebiasaan untuk melahap sembarang tema berita. Karena perkembangan kondisi sepakbola di Indonesia sekarang ini bisa dikatakan dalam kondisi rawan karena adanya perpecahan.

Dan ada pemberitaan yang terasa janggal mengenai apa yang saya simak dalam sebuah berita. Adalah berita dari Media Indonesia, yang selama ini bisa dibilang diakui kredibilitasnya di kalangan para jurnalis. Dalam sebuah berita yang dimuat pada kanal sepakbola di media tersebut, ada beberapa kejanggalan yang bisa dibilang sangat aneh dan memalukan bila dilakukan oleh seorang wartawan profesional yang mempunyai kredibilitas tinggi. Berita berjudul "PSSI Bohongi FIFA" yang dimuat hari Kamis lalu (1/3), berikut ini yang saya rasakan dari kejanggalan tersebut :

Quote

Dari rencana slot 24 klub (18 ISL musim lalu plus 6 promosi gratis), kini peserta IPL hanya berjumlah 12 klub. Hanya Semen Padang dan Persijap Jepara yang merupakan peserta ISL musim lalu dan kini berkompetisi di IPL.

Dua sisanya yaitu Persiba Bantul dan Persiraja Banda Aceh merupakan tim promosi Divisi Utama. Sementara 6 lainnya promosi gratis (Persebaya, PSMS Medan, Bontang FC, Persema, PSM Makassar, dan Persibo Bojonegoro) dan beberapa merupakan klub kloningan (Jakarta FC kloning Persija dan dualisme Arema kloning Arema ISL).

Dalam pemberitaan sebuah temuan, bukannya wartawan harus menyajikan secara proporsional dan berimbang berdasarkan fakta yang ada di lapangan? Jadi, sangat dirasa tidak pantas apabila belum ada buktikuat, tapi sudah menurunkan berita penghakiman terhadap suatu masalah. Apalagi kalimat yang disuguhkan berupa kalimat tegas, bukan kalimat opsional. Ada dua hal yang saya rasa janggal dalam kutipan diatas, yakni yang saya cetak tebal warna merah dan cetak tebal warna hijau.

Pertama : "promosi gratis"

Apakah sudah ada dasar ketetapan dalam sebuah sengketa yang sedang terjadi? Padahal penetapan apa yang disebut "promosi gratis" ini sangat ambigu. Tak ada dasar kuat untuk bisa diberitakan bahwa klub-klub tersebut memang mendapat promosi gratis. Sedangkan penggalian data pun juga tidak dilakukan dari awal mula kenapa klub tersebut bisa naik ke kasta tertinggi. Polemik yang berkembang ini pun juga tidak masuk dalam ranah hukum olahraga, sehingga apa yang disebut sebagai "promosi gratis" itu tidak berdasar. Bahkan dari segi peraturan organisasi pun juga jelas menyatakan bahwa kewenangan menentukan klub tersebut bisa ditentukan dalam rapat exco.

Kedua : "klub kloningan"

Penggunaan penyebutan sebagai "klub kloningan" ini juga tidak berdasarkan fakta yang jelas. Apa yang menjadi dasar hingga sang wartawan berani mengatakan sebagai klub kloningan? Mungkin yang menjadi pertimbangan adalah, sebuah klub yang telah berdiri, kemudian muncul klub lain yang menggunakan nama yang sama. Tapi sebagai penentu manakah yang mengkloning dan mana yang dikloning, apa yang digunakan sebagai referensi? Dalam peraturan regulasi AFC, dikatakan bahwa klub harus berbadan hukum. Nah, dalam kasus ini, bila ada permasalahan dualisme klub maka penyelesaiannya adalah dengan menggunakan koridor hukum dari negara setempat. Sedangkan kasus dualisme Persija, kini masih belum ada putusan dari Pengadilan. Arema malah lebih tidak pas lagi bila ingin dinyatakan kloning-mengkloning, karena permasalahannya tidak dibawa ke jalur hukum.

Dengan dua kejanggalan seperti diatas, maka kesimpulannya adalah, sang wartawan tidak menggunakan parameter yang jelas dalam membeberkan sebuah temuan yang akan ditampilkan ke publik sebagai berita. Bagaimana ada parameternya coba? Bila wartawan tetep ngotot mempertahankan argumennya, maka coba dibaca dengan seksama pada kutipan diatas, atau juga bisa disimak langsung menuju berita aslinya di link yang disertakan diatas. Coba disimak dengan seksama, kenapa PSMS Medan malah tidak disebut bermasalah sebagai kloningan? Sekali lagi jawabannya jelas, wartawan tidak menggunakan parameter yang jelas dalam menyajikan berita, hanya sekedar mengejar "sesuatu". (alhamdulillah yah)

Mengingat nama besar Media Indonesia, maka sungguh aneh rasanya bila ada kejadian seperti ini. Bila kejadian seperti ini dibiarkan terjadi berulang-ulang, maka lama-lama Media Indonesia bisa menjadi seperti media harian Lampu Merah, Meteor, dll, yang tidak terlalu mempermasalahkan pemilihan bahasa yang ditampilkan. Di akhir berita, ada dua nama (inisial) yang dicantumkan, yakni ASH dan OL-9. Entah siapa yang menyajikan berita, dan siapa yang menjadi editor, yang jelas gaya bahasa (2 poin) layak dipertanyakan kredibilitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun