1 April 2013, siang hari disaat mendung menggelayuti perbukitan berbaris di daerah Wonogiri. Saya yang saat itu mendapatkan sebuah artikel yang bikin saya merenung dan sejenak pikiran melayang memikirkan sosok pesepakbola karismatik yang satu ini. Yak, dialah Bambang Pamungkas atau yang biasa akrab dipanggil Bepe. Dari artikel yang diunggah di web pribadinya dan juga di laman SportSatu.com, Bepe yang sebulan belakangan menjadi kolomnis di portal tersebut, menyatakan “gantung sepatu” dari timnas. Yak benar, ini adalah keputusan Bepe, dan ini juga bukanlah April Mop !!! (Selengkapnya bisa dibaca di sini)
Saya kemudian mulai mengenang tentang sosok seorang Bambang Pamungkas. Apakah saya pernah bertemu dan banyak mengobrol dengan beliau? Tidak! Saya belum pernah sekalipun bertemu face to face dengan Bambang Pamungkas, bahkan di malam sebelum keberangkatan timnas ke Malaysia guna mengikuti AFF Cup 2012, saya yang saat itu “nongkrong” di hotel tempat menginap timnas dan banyak mengobrol dengan coach Nilmaizar, tidak sekalipun saya berjumpa pandang dengan pemain kharismatik ini. Hanya Elie Aiboy, Irfan Bachdim, Tony Cussel, Wahyu Wijiastanto saja yang sempat saya lihat, itu pun tidak terlibat dalam sebuah obrolan. Lantas kenangan apa yang begitu membekas atas seorang Bambang Pamungkas? Tentu saja dari warung, tempat kerja, tempat makan, dll seringkali saya membicarakan Bepe, baik itu dari banyak segi positifnya maupun dari sedikit segi negatifnya (hehee, sorry masbro J
Sundulan Bepe | ilustrasi oleh Indra Devata
Sundulan khas Bepe
Bicara Bambang Pamungkas, tentu yang wajib dibicarakan adalah sundulannya. Memang Bepe bukanlah Pele yang dikenang sebagai “tandukan 90% gol” atau juga bukan Oliver Bierhoff si pemilik “sundulan emas”. Posturnya dengan tinggi 170cm tentu sangat standart atau bahkan dibawah para bek-bek Eropa, Afrika, maupun Amerika. Namun hal itu tak mengurangi ekspektasi publik untuk mengenangnya karna sundulannya yang khas. Dengan jumping-nya yang bisa dibilang tinggi, seolah mampu menutupi kekurangan postur tubuhnya yang lebih pendek daripada bek lawan. Tak hanya itu, dari komentator sepakbola pun banyak yang menyebut bahwa “jumping yang dilakukan Bepe seolah bisa berhenti sejenak di udara”. Dengan kondisi perumpamaan ini, tentu banyak berguna bagi keleluasaannya untuk bisa mengarahkan bola hasil sundulannya.
Kontroversi Bepe
Dari sekian banyak pemberitaan, bagi saya pribadi, kejadian pemukulan yang dilakukan Bepe (entah terencana atau reaktif) terhadap Hilton Moreira di hotel, adalah kejadian yang sangat negatif dari seorang bintang lapangan sebesar Bepe. Dari sudut pandang lain, hal ini menunjukkan bahwa Bepe juga manusia biasa seperti halnya kita semua yang kadang khilaf dalam mengontrol emosi. Ketidaksukaan atas kejadian ini kemudian saya tuangkan dalam cerita komedi dengan tema Bepe saat ada kejadiaan Pepe menginjak kaki Lionel Messi di laga El Classico. Bisa juga benar anggapan orang yang mengatakan saya berlebihan karena mengangkat tema Bepe dengan perbandingan Pepe, namun dibalik itu semua inilah yang biasa diangkat para “seniman” di luar sana yang banyak mengkritik isu-isu yang berkembang di masyarakat dengan cara karikatur atau sindiran lucu. Dengan tulisan ini pula saya sampaikan permohonan maaf saya kepada Mas Bepe, karena dulu saya sudah mengangkatnya sebagai tema dalam komedi (hehee, peace masbro)
Persija yang asli yang ada Bepe-nya
Bicara Bepe, tentu tak lepas dari tema Persija, karna di klub inilah Bepe terhitung paling lama bermain dan menjadi icon klub berjuluk Macan Kemayoran tersebut. Dalam polemik sepakbola yang kurun waktu dua tahun terakhir ini makin berkembang liar kekisruhannya, entah solusi apa yang bisa mendamaikan sepakbola kita ini dari kericuhan para elite. Bilamana suporter rusuh, para elite “penguasa” sepakbola tentu bisa saja memberi sanksi kepada suporter yang rusuh. Baik itu dengan hukuman laga kandang tanpa penonton, pengurangan skor, maupun denda. Tapi bila keadaan jadi dibalik, para elite yang rusuh, bisa nggak sich suporter yang memberikan sanksi kepada para elite tersebut, hehee. Kembali ke sub tema, soal Persija. Dari serangkaian konflik sepakbola kita ini, ternyata berimbas terhadap Persija yang mengalami dualisme. Malah sebelumnya bukan hanya dualisme, tapi ada tiga pihak yang mengaku menyandang nama sebagai Persija.
Hingga KLB PSSI 17 Maret 2013 lalu, belum ada langkah dan aturan yang substansial mengenai penyelesaian dualisme klub. Menpora yang ngakunya turut andil besar menyelamatkan sepakbola nasional dari sanksi FIFA pun juga tak memiliki parameter yang sesuai aturan untuk menyelesaikan dualisme klub. Misalnya saja, gugatan Persija versi Ferry Paulus yang dimenangkan di pengadilan, ternyata belum sepenuhnya membawa Persija menjadi satu. Jadi pada intinya, menpora tidak punya aturan yang pas untuk parameter penyelesaian dualisme klub seperti : badan hukum klub, TMS klub, dukungan klub internal klub, pemegang saham klub, nama pengelola klub. Pada akhirnya, masyarakat pun hanya bisa mengambil kesimpulan “Persija yang asli yang ada Bepe-nya” tanpa ingin tahu menahu silang pendapatnya bagaimana, karena di tingkat para elite penguasa sepakbola pun juga “berantem” tak ada selesainya sehingga parameter untuk mengakhiri dualisme pun hilang tak terpikirkan.
Dan pada kesimpulannya, ini semua diakibatkan oleh ketidaksiapan klub-klub dalam menyongsong era sepakbola industri, dan terpaku pada konsep perserikatan. Bukannya menjelekkan sistem perserikatan, toh sistem perserikatan sangat positif dengan mencetak potensi-potensi talenta muda dalam pembinaan internal klub. Tapi sepakbola di dunia internasional kini sudah banyak berubah dengan memperketat sisi manajemen. Klub Raksasa sebesar Glasgow Rangers saja bisa turun kasta di divisi terbawah karena manajemennya kolaps, masa di Indonesia mau gitu-gitu aja jalan di tempat?
Bepe dan Timnas