Mohon tunggu...
Bubup Prameshwara
Bubup Prameshwara Mohon Tunggu... Operator - Uyeah

Kadang saya memikirkan apa yg terjadi di indonesia ini, sungguh bikin "miris". Tapi kadang saya juga merasa tak ada gunanya memikirkan apa yg sedang saya pikirkan :O

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bagaimana Mau Melestarikan Batik, Sedangkan.....

2 Oktober 2012   04:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:23 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13491564461239646714

[caption id="attachment_215808" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Hari ini diperingati sebagai Hari Batik. Penghargaan yang terasa menyejukkan di tengah himpitan modernisasi, ternyata budaya leluhur kita berupa batik mendapat penghargaan khusus di "rumah sendiri" dengan adanya hari special untuk memperingatinya. Seni Batik pun kini mengakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Namun apakah benar-benar batik merasuk hingga begitu luasnya? Marilah kita simak investigasi P.S.K (perbatikan super koplaksiana) berikut dibawah ini. Batik hanya simbol Apakah anda memperhatikan bahwa seragam sekolah SD, SMP, atau SMU anak-anak anda atau keluarga anda ada yang bermotifkan batik? Yak benar, banyak sekolah yang menggunakan seragam batik sebagai bagian dari keseharian dalam kegiatan belajar dan mengajar, selain seragam atas putih dan seragam pramuka. Tapi apakah anda juga memperhatikan batik yang bagaimanakah yang ada pada seragam tersebut? Batik terkesan hanya sebagai formalitas saja. Bagaimana tidak, karena memang kebanyakan seragam sekolah hanya mengambil motif batik saja tanpa memperhatikan nilai-nilai sosbud yang terkandung dalam seni batik. Maka tak heran bila seragam sekolah mayoritas bukan merupakan batik asli, tapi hanyalah sablon printing yang bermotifkan batik. Sebagai contoh, batik di Jawa menggunakan teknik cap dan atau batik tulis, disinilah nilai peradaban warisan dari leluhur kita yang sangat berharga. Batik adalah sebuah maha karya dan seni, sebagaimana UNESCO juga turut memberi apresiasi khusus untuk Batik Indonesia. Teknik-teknik pembuatan batik di berbagai daerah di Indonesia pun juga beragam teknik pengerjaannya, namun dari yang beragam tersebut dapat kita pahami seberapa besar bangsa ini menghasilkan maha karya yang mendunia. Jadi sungguh naif bila hanya mengambil batik sebagai simbol, tapi mengambil jalan pintas dengan pengerjaan menggunakan mesin printing. Behind the scene "industri batik" Di tengah ketatnya persaingan industri di Indonesia, hegemoni masyarakat yang banyak memilih "batik" printing sebagai pilihan, terutama karna segi ekonomi yang memang harganya sangat jauh dibawah batik asli, tentu akan dimanfaatkan para pengusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Selama ada permintaan, begitu pula pasti banyak pengusaha yang tergerak untuk memproduksinya, karna memang begitulah hukum ekonomi berlaku. Bahkan dari sekian banyak pengusaha tersebut, karena himpitan ekonomi pula tak sedikit yang "banting stir" dengan beralih ke printing dan meninggalkan sama sekali batik manual. Melestarikan batik? Eitsss, nanti dulu Dalam menjaga sebuah kelestarian batik, maka dua hal yang paling penting adalah animo masyarakat dan pelaku batik itu sendiri. Animo masyarakat tentu adalah hal yang wajib dijaga bila ingin batik tetap lestari. Tanpa adanya animo masyarakat, mau dibawa kemana hasil produksi batik kita? Seperti yang telah dikemukakan diatas, sebagai masyarakat umum kita hendaknya bisa mengambil nilai-nilai batik yang sebenarnya, karena nilai-nilai etika dan estetika dari maha karya batik inilah yang wajib kita lestarikan. Bukan hanya sekedar batik sebagai simbol saja, karna yang beginilah secara jangka panjang (langsung maupun tak langsung) akan menggerus batik tradisional yang telah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur kita. Lalu bagaimana dengan pelaku batik itu sendiri? Tak perlu susah payah saya untuk sekedar mengorek data dalam investigasi kita kali ini, karna di desa saya ada 6 tempat produksi batik tradisional. Bahkan dulu pun saya juga sempat menjalani kehidupan sebagai buruh batik (tapi tetep, sekarang buruh juga, tapi bukan batik), dan hingga kini pun ibu saya berprofesi sebagai buruh batik. Di desa saya, bagi yang berumur 30 tahun kebawah apakah ada yang bisa membatik? Tidak ada! Selama ini pengerjaan membatik dikerjakan oleh ibu-ibu yang kira-kira berusia 50 tahun keatas. Bagaimana kita bisa melestarikan batik, bila tenaga membatik saja sudah tidak ada regenerasi. Bagi remaja putri, dapat saya pastikan bahwa tak ada satupun di desa saya yang berminat untuk bercita-cita bisa membatik dan atau bercita-cita memilih membatik sebagai pekerjaan kelak. Hal yang sangat logis. Pertama, membatik itu sulit. Kedua, membatik itu tak sepadan dengan hasil (upah) yang diterimanya. Ketiga, banyak pekerjaan lain yang lebih diminati. Karena faktor ekonomi itu pula, regenerasi batik terkesan mandek. Pemerintah, mana solusimu? Selama ini kita sering menyimak iklan maupun jargon dari pemerintah yang menyerukan agar lebih mencintai batik. Bahkan dibuat beberapa event khusus untuk menumbuhkan kecintaan batik. Tapi pemerintah lupa, regenerasi pengrajin-pengrajin batik ini tak ada yang memperhatikan. Jangankan regenerasi, para pengrajin batik yang hingga kini mendapat upah dibawah UMR pun pemerintah sudah melakukan apa buat mereka? Ahhhh, pemerintah lebih asyik mikir batik di sekujur badan mereka, mungkin. (panu, -red) :p

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun