Kini pemerhati dan pecinta sepakbola tanah air sebentar lagi akan disuguhi gelaran yang bertajuk Rapat Akbar Sepakbola Nasional (RASN). RASN sedianya akan digelar di Jakarta pada tanggal 17-19 Desember yang digalang oleh 4 Exco yakni Nyalla, Toni, Erwin, dan Roberto dengan membentuk FPP, singkatan dari Forum Pengprov PSSI (forum=kata pengprov=akronim pssi=singkatan komplit banget jek). Menurut berita, agenda RASN adalah untuk mengembalikan PSSI ke jalan yang "benar", karena selama ini PSSI dianggap telah melanggar statuta dan mengkhianati amanat Kongres Bali.
FPP sendiri telah mengungkapkan bahwa apa yang diagendakan ini adalah tulus demi kemajuan sepakbola tanah air. Dalam agenda tersebut, akan dibahas mengenai permasalahan yang mengindikasikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PSSI hasil Kongres Luar Biasa di Solo beberapa waktu lalu. Dalam pembahasan ini nantinya tidak menutup kemungkinan akan diajukan mosi tidak percaya kepada kepengurusan PSSI saat ini, dan bila tidak mendapatkan tanggapan yang serius dari PSSI maka FPP mengancam akan mengajukan KLB untuk menggulingkan kepengurusan saat ini.
Aroma tak sedap pun tercium dari rencana RASN kali ini. Diberitakan bahwa muncul rumor yang mengindikasikan ada bagi-bagi uang terhadap siapa saja yang hadir dalam RASN, mulai dari akomodasi transport pp, akomodasi 4jt/hari, hingga rumor tak sedap yang menyatakan bahwa siapapun perwakilan yang datang mau menandatangani surat pernyataan mosi tidak percaya akan menerima kompensasi sebesar 10jt/suara.
Menyikapi rumor yang berkembang ini, lantas gue coba membandingkan antara RASN dengan aksi massa dari puluhan hingga ratusan ribu suporter seluruh Indonesia yang tumpah ruah menguasai dan menyegel kantor PSSI menyuarakan aspirasinya pada Februari hingga Maret lalu. Temen-temen gue yang berangkat dengan menyewa beberapa truck melalui uang patungan dan akomodasi seadanya, bersama-sama meneriakkan aspirasi mereka mengenai permasalahan yang membelit kepengurusan PSSI saat itu. Tak ada yang menyuruh, tak ada yang mengompori, tak ada yang memaksa, tak ada yang membujuk dengan iming-iming, dan tak ada kepentingan apapun selain tuntutan agar kepengurusan saat itu untuk "turun" alias lengser. Dan ini adalah fakta, temen-temen gue ada yang hanya sedia duit gocap di dompet, bahkan ada yang kurang dari itu. Dan ternyata di sekitar kantor PSSI dan kompleks Senayan menjadi ajang kumpul suporter dari berbagai daerah untuk menyuarakan satu suara yang sama. Massa yang datang ini pun secara jumlah jauh lebih besar daripada KSN di Malang pada 2010 lalu yang dimediasi oleh Kemenpora, namun ternyata setelah sekian waktu berjalan tidak membuahkan perubahan yang berarti.
Tidak bertepuk sebelah tangan, aksi massa ini pun mendapat dukungan reaksi dari pemerintah. Melalui Kemenegpora, maka kepengurusan PSSI yang saat itu dikomandoi oleh ketum Nurdin Halid dibekukan dan mendukung bilamana diadakan kongres PSSI demi menyelamatkan persepakbolaan tanah air. Pada akhirnya FIFA pun turun tangan atas kemelut yang terjadi, FIFA kemudian mencap kepengurusan periode ini sebagai kepengurusan yang tidak kompeten dan tidak kredibel. Lantas FIFA membentuk Komite Normalisasi yang diketuai Agum Gumelar dengan salah satu agendanya adalah menggelar Kongres Luar Biasa guna memilih kepengurusan yang baru. Meski KLB I yang digelar di Jakarta berakhir ricuh karena ulah K-78 yang memaksakan kehendaknya, namun pada akhirnya KLB II yang digelar di Solo terbilang sukses menghasilkan kepengurusan yang saat ini memegang tampuk pimpinan.
Gue gak kebayang aja jek, seandainya dulu itu untuk menurunkan Nurdin Halid dengan KLB harus mengumpulkan 2/3 suara, pasti KLB tidak akan terlaksana dan dipastikan pula sekarang Nurdin Halid akan berkuasa di PSSI untuk tiga kali periode. Apa pasalnya? Di Kongres Bali saja beredar surat dukungan yang ditandatangani beberapa pemilik suara yang berisikan amanat agar Nurdin Halid maju sebagai caketum periode 2011-2015. Karena memang saat itu hampir semua pemilik suara memilih Nurdin Halid, hal ini dibuktikan saat pendaftaran caketum, Nurdin Halid memperoleh suara mayoritas. Jadi sungguh mustahil Nurdin Halid bisa dilengserkan mengandalkan pemegang hak suara. Hal lucu juga bisa kita lihat disaat Jakmania panas-panasan menyuarakan revolusi dan menyambut ribuan suporter dari berbagai daerah untuk menyuarakan satu hal yang sama, eeeeh ketua Persija (dan mungkin juga ketua Pengprov DKI) malah adem ayem saja bergumul dengan baginda yang mulia Nurdin Halid.
Ya gue heran aja, para pemilik hak suara dengan segala kepentingannya selalu saja mempunyai lidah bercabang dua. Dulu ikut Nurdin Halid cari aman, setelah itu tergabung jadi K-78 bikin kisruh cari muka, sekarang tak menutup kemungkinan akan melakukan hal aneh lagi. Suporter? Masa bodoh aja.
* * * * *
~~{[["P.S.K"]]}~~
Pengamat Sepakbola Koplaksiana
oleh : Bubup Prameshwara, SH
(Specialis Humor)
Peraih gelar Humoris Causa dari UGM (Universitas Genteng Merah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H