[caption id="attachment_213410" align="aligncenter" width="538" caption="Foto almarhum Bp Sukatamsi | doc. pribadi"][/caption] Kemarin (7/12) saya berkeliling di seantero Sukoharjo dan Surakarta dengan maksud membagikan buku kurikulum karya coach Timo Schunemann yang telah dicetak sebanyak 1000 buku (tahap pertama) oleh suporter. Kebetulan di wilayah Surakarta dan sekitarnya mendapatkan jatah beberapa buku untuk dibagikan secara cuma-cuma untuk SSB-SSB yang telah terdaftar, dan semoga di tahap selanjutnya makin banyak SSB lagi yang menerima buku kurikulum ini. Ada beberapa pengalaman berharga yang tak terduga, sekaligus menambah wawasan saya ketika mendistribusikan buku kurikulum tersebut. Dan pada kesempatan kali ini saya ingin membagikan satu pengalaman tersebut agar dapat kita ambil nilai positifnya. Tentu saja pengalaman ini tak jauh-jauh dari sepakbola. Baiklah, bagi yang mau menyiapkan kopi sebagai teman menyimak kisah ini, saya persilahkan J Dari beberapa daftar SSB yang ada dalam daftar yang saya pegang, saya sengaja memilih arah yang paling jauh dari tempat tinggal saya terlebih dahulu, yakni mengambil arah Kartasura dan Surakarta. Pertimbangan selanjutnya, untuk wilayah Sukoharjo bagian selatan dan Wonogiri bisa dikerjakan esok hari. Setelah wilayah Kartasura selesai, saya langsung meluncur untuk menyelesaikan wilayah Surakarta. Dan di tempat terakhir inilah say benar-benar mendapatkan “kejutan” yang sangat tak terduga. Tempat terakhir yang saya kunjungi adalah PSB Bonansa, Solo. Ketika menelfon CP PSB Bonansa (Mas Yogi), untuk menanyakan ancer-ancer alamatnya, saya pun langsung meluncur. Di Bonansa inilah terjadi obrolan yang sangat menarik dengan Mas Yogi. Berawal dari obrolan menarik inilah akhirnya saya tahu bahwa Mas Yogi adalah putra bungsu dari almarhum Bp Sukatamsi. Obrolan makin menarik ketika Ibu Sukatamsi (istri mendiang Bp Sukatamsi) ikut bergabung dalam obrolan di sore hari yang sedikit mendung waktu itu. Bp Sukatamsi sendiri adalah salah satu icon figur yang sangat peduli dengan pembinaan sepakbola di Solo. Jauh sebelum mendirikan PSB Bonansa pada 14 tahun silam, Bp Sukatamsi telah banyak mendedikasikan hidupnya demi olahraga, terutama sepakbola di wilayah Solo. Bahkan ketika Stadion Manahan masih baru-barunya dan mangkrak tak digunakan, Bp Sukatamsi yang merupakan lulusan dari STO (Sekolah Tinggi Olahraga) yang pertama kalinya mengukur lapangan untuk kemudian memberi tanda sebagai line. Dan kesemuanya dilakukan dengan bahan dan peralatan yang disediakan sendiri, tanpa ada pendanaan dari pihak lain. Pada masa-masa sebelumnya, Bp Sukatamsi pernah menjabat sebagai direktur Persis Solo untuk usia muda. Terutama difokuskan untuk mencari bibit-bibit muda di wilayah Solo dan sekitarnya untuk bisa “diorbitkan” sebagai pesepakbola yang diharapkan nantinya mampu membanggakan nama Solo di kancah nasional. Namun kenyataan tak sejalan dengan apa yang menjadi motivasinya. Kebobrokan kepengurusan Persis Solo pada masa lampau yang pernah saya dengar dari tetangga saya eks pemain Arseto Solo, kini saya dengar kembali melalui penuturan Ibu Sukatamsi yang saat ini menjabat sebagai direktur PSB Bonansa. Pada masa itu (atau mungkin sekarang masih yaaaaa), bukanlah hal aneh bila dalam seleksi penerimaan pemain terjadi adanya pemain titipan, pencurian umur, dan banyak hal yang sangat menciderai semangat olahraga itu sendiri. Tekanan dan intervensi berlebih dari kepengurusan yang tak sejalan dengan jiwa dan semangat pengabdian (tanpa gaji coy) memajukan sepakbola, akhirnya Bp Sukatamsi memutuskan mundur dari posisi tersebut untuk kemudian lebih konsen kepada PSB yang dikelolanya. Meskipun saya pribadi belum pernah bertemu beliau, namun dari penuturan Ibu Sukatamsi, saya dapat menangkap sebuah semangat yang membara dari Bp Sukatamsi untuk berperan membangun iklim sepakbola yang lebih baik. Yang paling ditekankan kepada anak didiknya adalah motivasi mengenai kejujuran dan kedisiplinan. Karena motivasi kejujuran inilah Bp Sukatamsi pilih mundur ketika di Persis Solo. Dan mengenai kedisiplinan ini, pernah suatu kali ada seleksi tim guna mengikuti ajang tingkat Jawa Tengah, ada salah satu anak didik terbaiknya absen tidak mengikuti seleksi dan tanpa ijin pula. Akhirnya si anak tersebut dinyatakan gugur, bahkan ketika si anak bersama orang tuanya datang langsung menemui Bp Sukatamsi untuk meminta keringanan pun ditolak secara halus. Suatu sikap yang layak dipuji dan ditiru. [caption id="attachment_213396" align="aligncenter" width="538" caption="Buku DIKLA (1984) bersanding dengan Buku Kurikulum karya coach Timo Schunemann | foto doc. pribadi"]
twitter: @BubupTweet [caption id="attachment_213409" align="aligncenter" width="538" caption="Penyerahan buku kurikulum SSB kepada Ibu Sukatamsi | foto doc. pribadi"]
13549430691619671793
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H