Bubup : "Ehh Pam, bola yang asli menurut FIFA itu yang gimana?"
Pampam : "Jelas, bola yang asli itu kalau ditendang pelan akan menggelinding"
Bubup : "Kalau yang palsu?"
Pampam : "Ya kalau ditendang maka arah jalannya zig-zag mirip bajaj yang jalannya ngeles"
* * *
Hai hai hai, a yu oke tude? Yuuuuk mari, bagi semua pecinta sepakbola nasional kita luangkan waktu sejenak untuk ber-party si sapi, ehh maksud gue berpartisipasi menyimak kondisi sepakbola tanah air. Memang, kita hidup bukan hanya bola yang ada di otak kita, kita perlu kerja, mencari hiburan, dan meluangkan waktu lebih untuk keluarga. Namun tak ada salahnya kita sedikit peduli atas kondisi persepakbolaan kita, nantinya bila persepakbolaan kita telah maju (semoga gk lama lagi) maka kita secara nggak langsung akan tercatat dalam sejarah perkembangan sepakbola dalam bentuk "suara-suara" yang membangun.
Bicara soal ngeles pada banyolan diatas, mungkin saat ini banyak yang memang ngeles-mengeles di dunia persepakbolaan kita. Ahh memang begitulah warna sepakbola kita, hahaa. Disini gue akan mengetengahkan topik (bukan topik hidayat, atau juga topik savalas yg udah almarhum) tentang dualisme dalam klub sepakbola. Salah satu hal yang sangat disayangkan dalam era kepemimpinan Djohar Arifin sebagai Ketum PSSI adalah beberapa klub terjadi konflik dualisme. Disini gue akan membahas dualisme di era Djohar Arifin, karna dualisme Persebaya di era Nurdin Halid jelas-jelas kesalahan mutlak bang napi. Mungkin Bonek nggak akan lupa saat dikorbankan sebagai "degradasi gratis" untuk menyelamatkan Pelita Jaya. Dan hal itulah salah satu hal yang mendasari manajemen untuk berbelok berkiprah di LPI dengan segala konsekuensi yg diterima (dipecat di Kongres Bali tapi gk diundang, sah gk tuh hayoh?). Kemudian bang napi mengambil sebuah klub yakni Persikubar, untuk dipindah home base di Surabaya dan berkamuflase menggunakan nama Persebaya serta menempatkan orang-orangnya di Persebaya gadungan tersebut (tuh wisnu wardhana). Yasudahlah, ini sekedar mengingatkan saja, sekarang kita kembali ke benang merah saja jek, oke?
Oke, banyak sekali terjadi kasus dualisme klub sepakbola. Contohnya PSMS, Persija, PSIS, Persis, bahkan trilisme seperti Arema. Lantas siapa yang salah? Balik lagi saja ke syarat-syarat sebuah klub profesional versi AFC/FIFA, salah satunya ya sebuah klub harus berbadan hukum. Ada tambahan juga, sebuah klub semestinya memiliki tim junior demi pembinaan usia dini. Lantas apa yang terjadi di Indonesia? Selama beberapa tahun bergulirnya Indonesia Super League, ternyata masih banyak klub yang tidak berbadan hukum. Kondisi seperti ini juga ada hal yang mengganjal, seperti klub ex-Perserikatan yang "paten" memiliki klub-klub anggota dibawahnya. Buat apa gitu sebuah klub punya klub anggota, kalau dipikir-pikir mending klub memelihara tim junior daripada memelihara klub anggota yang masih dipertanyakan kontribusinya. Tentu saja klub yang katanya anggota-anggota tersebut menurut "kamus" sepakbola lebih baik mendirikan badan hukum dan menghidupi dirinya sendiri untuk dapat berkompetisi di liga amatir. Tapi nyatanya, ternyata klub-klub yang katanya anggota tersebut malah terkesan bikin ribet klub utama.
Ya memang nggak semua sich, tapi ini gue akan coba ambil klub dari kota gue, Persis Solo. Saat verifikasi klub oleh AFC pada tahun lalu, Persis Solo merger dengan Ksatria XI Solo FC, dengan harapan akan saling melengkapi. Persis Solo yang resmi menjadi anggota PSSI akan dibantu Solo FC yang telah berbadan hukum dan aspek finansial pun juga mempunyai nilai plus di mata AFC. Harusnya dengan kerjasama ini (istilahnya merger) maka akan saling menguntungkan semua pihak yang terlibat. Hah, sungguh sayang, selalu saja ada orang yang tergoda dengan gepokan uang. Persis Solo (hasil merger menggunakan nama ini) ternyata terbelah juga, dikomandoi oleh Paulus (halah siapa lagi nich orang, kalo gk salah ini dulu cuma panpel Persis Solo dech) mengadakan rapat gelap dan memutuskan memilih berlaga di Divisi Utama PT LI, apalagi pak Djoko Driyono ngasih 500juta tuh, jadi ijo dech. Yang mengherankan, dalam rapat gelap tersebut katanya hasil rapat merupakan keputusan 26 klub anggota. Halooo, 26 klub itu selama ini ngapain aja? Dulu pas Persis Solo terseok-seok finansial, pemain gk digaji, dll, kalian kemana aja? Malah Pasoepati yg membesarkan hati para pemain agar bisa menyelesaikan kompetisi.
Jadi kesimpulan secara umum gimana, siapa yang salah?
Yang salah ya pengurus klub-klub di Indonesia yang secara nyata nggak siap ber-profesional, tapi tetap mengedepankan egonya agar tetap disebut profesional. Apa ini karena efek nikmatnya mereguk APBD selama ini? Hahaa i don't know the answer :ngakak