[caption id="attachment_125033" align="aligncenter" width="680" caption="Salah satu spanduk bernada protes, yang beberapa waktu lalu menghiasi kawasan depan eks-pabrik es Saripetojo"][/caption]
Saripetojo, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu sari dan pitojo (baca: pitoyo). Sari yang berarti inti atau pusat, dan pitojo yang merupakan bentuk kuno dari kata tirta atau air. Jadi kata saripetojo bisa diartikan sebagai "intinya air". Tak salah dengan pemilihan kata ini sebagai merk dagang, karena menilik dari faktor ekonomi ternyata merk dagang Saripetojo begitu dominan menguasai pasar es balok khususnya di daerah Solo dan sekitarnya (di Jawa Barat juga pangsa pasarnya bagus loh, tapi emang lagi gak akan dibahas disini). Polemik yang mencuat dari pabrik saripetojo ini berawal dari rencana pembangunan mall di kawasan bekas pabrik tersebut. Bibit Waluyo selaku Gubernur Jawa Tengah, pada tempo hari merencanakan untuk membangun mall di area tersebut dengan acuan bahwa areal tersebut adalah termasuk sebagai lahan/tanah pemprov. Bahkan saat Joko Widodo selaku Walikota Solo ikut bicara mengenai rencana pembangunan mall ini, Pak Gubernur menanggapinya dengan pernyataan yang sangat mengejutkan, yakni menyebut Joko Widodo adalah bodoh karena berani menentang keputusan gubernur. Tentu saja pernyataan dari Bibit Waluyo ini menyulut kemarahan warga Solo, bahkan demonstrasi pun marak dilakukan untu memprotes kebijakan (kalau bisa dikatakan bijak sich) dari Gubernur Jawa Tengah ini. [caption id="attachment_121218" align="alignnone" width="614" caption="Maklumat dari Paguyuban Warga Jantirejo"]
[/caption] Pada Minggu lalu (24/07) kebetulan saya melewati jl. Slamet Riyadi di depan bekas pabrik es tersebut, saya agak terheran-heran karena di luar areal bekas pabrik tersebut kini telah sepi dan bersih dari berbagai spanduk dan baliho bernada protes terhadap Gubernur, Bibit Waluyo. Kondisi yang sangat berbeda dengan dua minggu yang lalu saat saya melewati areal tersebut dan menyempatkan diri untuk memfoto beberapa spanduk bernada protes tersebut (foto terlampir). Kini spanduk-spanduk di areal tersebut telah dibersihkan, hanya ada beberapa spanduk (masih) dengan nada protes di kawasan lampu merah Jongke (±500 meter ke arah selatan), simpang tiga kawasan jl. Tentara Pelajar, dan beberapa tempat lain yang jauh dari areal bangunan tersebut.
Karena penasaran atas
hilangnya spanduk-spanduk tersebut, maka saya pun mencoba melihat-lihat kabar online mengenai perkembangan polemik bekas pabrik es Saripetojo. Kapolresta Solo,
Kombes Pol Listyo Sigit Prabowo, menyatakan bahwa
telah melayangkan surat kepada Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (kemenbudpar) agar pihak penyidik lebih teliti lagi mengkaji mengenai status bangunan bekas pabrik Saripetojo tersebut termasuk Benda Cagar Budaya atau tidak. Namun, menilik dari UU N0.11 Tahun 2010 yang disahkan untuk merevisi UU No.5 Tahun 1992 mengenai cagar budaya, maka bangunan tersebut (bekas pabrik Saripetojo) dapat digolongkan sebagai Benda Cagar Budaya karena bangunan kuno tersebut (yang sebagian telah dibongkar oleh pihak proyek dengan alasan telah menerima ijin dari Pemprov) memiliki nilai historis dalam perkembangan ekonomi di wilayah Solo dan sekitarnya. Bagaimana tidak, es balok produksi Saripetojo ini telah lama menyuplai permintaan masyarakat akan es balok, bahkan pangsa pasar Saripetojo pun telah lama menjangkau daerah-daerah terpencil di luar Solo seperti di Kab. Sukoharjo, Kab. Klaten, Kab. Wonogiri, dll. Meski sebagian kalangan masih ragu apakah benar bahwa pabrik tersebut didirikan pada tahun 1888 (karena pada tahun tersebut wilayah Surakarta belum ada listrik), tapi mengacu pada UU N0.11 Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa minimal 50 tahun untuk dapat digolongkan sebagai Benda Cagar Budaya, maka dapatlah kita simpulkan bahwa bangunan tersebut LAYAK dijadikan sebagai Benda Cagar Budaya. Hal ini dipertegas dengan
pernyataan dari Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang menuturkan bahwa pihak Pemprov yang tempo hari telah membongkar sebagian bangunan harus dikembalikan kondisinya seperti semula. Dalam perkembangan terkini, masyarakat sedikit lega karena Ketua DPRD Surakarta, YF Sukasno, mengatakan bahwa polemik tersebut
akan selesai sebentar lagi. Hal ini merujuk pada klarifikasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah mengenai Perda Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, pada Jumat lalu (22/7). Semoga bangsa kita akan terus dapat belajar dari segala kesalahan agar tidak terjerumus kembali pada kesalahan yang sama. Karena sebagai bangsa yang besar, tak selayaknyalah kita hanya mengejar kemodernan dan meninggalkan budaya leluhur yang berguna bagi kebudayaan dan kebhinekaan bangsa ini. * * * * * * * illustrasi : doc pribadi [caption id="attachment_121221" align="alignnone" width="614" caption="Pasoepati juga "]
[/caption] [caption id="attachment_121222" align="alignnone" width="614" caption="Saripetojo (belakang), kios pedagang buah (samping), spanduk protes dari pedagang (depan)"]
[/caption] [caption id="attachment_121223" align="alignnone" width="614" caption="Salah satu protes "]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya