Budaya malu, iya benar sekali. Sikap yang ditunjukkan oleh para pejabat kita ini sudah sangat jauh dari budaya malu. Bila di negara-negara maju pejabatnya sangat menjunjung sekali kebersihan sebuah nama baik, maka di negara kita hal itu akan sangat jarang kita temui.
Kebersihan sebuah nama baik bila di interpretasikan oleh pejabat negara kita pasti lebih mengarah kepada hal-hal yg menyangkut penjagaan citra dengan mengembangkan pencitraan dan menyerang hal-hal yang dapat mengganggu pencitraan tersebut. Dengan hal itu maka menyebabkan seseorang akan dengan kuat memegang prinsipnya pribadi tanpa memandang kepentingan orang lain, entah itu prinsipnya mengganggu kepentingan orang lain atau tidak, yang penting inilah prinsip dan kalau perlu orang lain harus mengikuti seperti keinginannya.
Coba kita tengok negara Jepang, dengan adabnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan maka tak heran bila ada pejabat yang tersangkut pada suatu polemik akan mengundurkan diri secara sukarela sebelum permasalahan tersebut menggelinding bagai bola salju yang makin lama makin membesar dan membahayakan. Bahkan di masa lalu pun bila ada "orang besar" yang terlibat dalam konflik yang memalukan di mata masyarakat, maka harakiri lah jalan satu-satunya demi menjaga keluhuran namanya di mata masyarakat. Masyarakatnya pun lebih menaruh respek kepada orang yang melakukan ritual harakiri tersebut bila dibandingkan dengan orang yang ngotot mempertahankan alibinya.
Namun hal yang sangat berbeda bila kita lihat di negeri kita tercinta ini. Demi menjaga pencitraannya pun dilakukanlah segala cara, bila perlu juga 'menyerang' seseorang atau kubu yang bersebrangan dengannya. Seseorang yang terlibat dalam permasalahan hukum pun akan mati-matian mempertahankan posisinya sebelum terbukti sah melalui vonis pengadilan. Ironisnya, bahkan setelah terbukti sah dengan vonis dari pengadilan pun masih tetap bersikeras untuk mempertahankan apa yang dia miliki, tak peduli bahwa apa yang dia miliki itu adalah amanat yang diberikan rakyat kepada dirinya.
Di negeri yang penuh dengan segala permasalahan ini hal-hal yang demikian seakan menjadi lumrah. Entah kemana perginya semboyan dari Ki Hajar Dewantara yang mengatakan "ing ngarsa sung tuladha", seakan hanyalah sebuah pepesan kosong tanpa makna belaka. Semua seakan telah melupakan ajaran-ajaran dari para pendiri bangsa ini yang mengajarkan tentang kemanusiaan. Nilai-nilai yang diajarkan oleh para pendiri bangsa ini bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka pun terasa hilang tak berbekas.
Jangan heran bila orang-orang besar di negeri ini juga telah terserang syndrome SMS. "Selamatkan Muka Sendiri" tanpa peduli apapun penilaian dari masyarakat yang marjinal ini. Lebih parahnya apabila rekan seperjuangan pun begitu mudah ditinggalkan demi menyelamatkan "muka" pribadi.
Semoga saja syndrome SMS ini tak menyebar ke masyarakat, meski masyarakat juga sebenarnya sudah muak dengan kelakuan orang-orang besar yang terserang syndrome SMS stadium akut ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H