Mohon tunggu...
MEMBARA
MEMBARA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa pegiat Literasi untuk melestarikan cerita rakyat dan budaya di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malin Kundang

11 September 2024   22:02 Diperbarui: 11 September 2024   22:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dahulu kala, di sebuah desa kecil di pesisir pantai Sumatera Barat, hiduplah seorang janda miskin bernama Mande Rubayah bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Meskipun miskin, Mande Rubayah sangat menyayangi Malin dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Mereka tinggal di sebuah gubuk tua yang dekat dengan laut. Malin Kundang adalah anak yang cerdas, tetapi ia juga sedikit nakal.

Suatu hari, Malin merasa lelah hidup dalam kemiskinan dan memutuskan untuk merantau ke kota besar agar bisa memperbaiki nasib. Meskipun berat hati, Mande Rubayah merelakan kepergian Malin dengan harapan ia akan kembali dengan kehidupan yang lebih baik. Sebelum Malin berangkat, Mande berpesan, "Jangan pernah melupakan ibumu, Malin."

Setelah bertahun-tahun berlayar dan bekerja keras, Malin akhirnya menjadi seorang saudagar yang sangat kaya. Ia memiliki kapal besar dan hidup mewah. Namun, dalam kemewahan itu, Malin lupa akan ibunya dan asal-usulnya.

Suatu hari, kapal Malin Kundang berlabuh di desa kelahirannya. Kabar tentang kedatangan saudagar kaya itu segera menyebar, dan Mande Rubayah yang sudah tua sangat gembira mendengar bahwa anaknya telah kembali. Ia bergegas ke pantai untuk menyambut Malin. Dengan penuh haru, Mande Rubayah memanggil, "Malin, anakku! Aku ibumu!"

Namun, saat Malin melihat ibunya yang sudah tua dan berpakaian lusuh, ia merasa malu. Di depan istri dan para anak buahnya, ia menyangkal bahwa wanita tua itu adalah ibunya. "Aku tidak mengenalmu! Kamu bukan ibuku!" katanya dengan nada kasar. Hati Mande Rubayah hancur mendengar kata-kata Malin. Dengan sedih, ia berkata, "Kalau benar kau bukan anakku, biarlah Tuhan yang membuktikannya."

Tak lama setelah itu, badai besar datang menghantam kapal Malin. Angin kencang dan ombak yang dahsyat menggulung kapal tersebut. Malin Kundang terjatuh dari kapalnya dan tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi batu. Konon, batu Malin Kundang masih bisa dilihat di tepi pantai hingga hari ini, menjadi peringatan bagi anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun