Malas saya rasanya menulis di media daring saat belum resmi keluar siapa pemenang definitive pilpres. Namun ada satu hal yang membuat saya tergetar mau tidak mau hendak menuliskan peristiwa yang mengguncang kalbu sanubariku. Kemarin, aku memakamkan keponakanku. Ya..Keponakanku tersayang yang baru saja awal bulan puasa ini liburan ke rumahku untuk bermain bersama anakku. Dia memang tinggal beda pulau dengan kota tempat tinggalku.
Malam sebelumnya menjelang tengah malam aku mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Sempat berfikir ini adalah sejenis telepon yang mencoba menipu bahwa ada anak kerabat yang terkena razia, namun ternyata ini benar dari kerabat kandungku sendiri. Hanya singkat yang disampaikan karena ternyata diujung sana sedang ada kepanikan besar: “Kami sedang terkena musibah, rumah terbakar, kakak belum ditemukan” Kakak adalah panggilan untuk keponakan cilikku itu, meskipun dia sebenarnya anak nomor 2, dan masih ada saudara sulungnya. Ya Allah, merinding diriku mendengar berita ini, hendak membantu tapi ada jarak laut dan daratan. Ya Allah, aku benar-benar saat itu berharap ini adalah momen kau hanya bermimpi, ketika terbangun tidak ada bencana yang sebenarnya terjadi. Namun itulah yang terjadi. Hendak menelepon kembali untuk memantau namun tak satupun nomor hape yang terdaftar dapat dikontak.
Diperbatasan malam berganti pagi, ada berita yang cukup menguatkan hati, kakak semalam adalah salah satu yang mencoba membangunkan saudara sulungnya dan berteriak bahwa ada kebakaran. Berharap bahwa dia sebenarnya sudah keluar duluan dari rumah yang sedang dilanda api. Namun apa daya Maha Pencipta berkehendak lain. Keluar dari tubuh pesawat yang membawaku pulang ke kota kelahiranku itu aku segera disergap berita lain, kakak sudah ditemukan 7 jam setelah kebakaran berakhir setelah sejak dinihari dicari kemana-mana, namun tubuh kecilnya ditemukan dalam keadaan pulang ke Rahmatullah, di dalam kamarnya yang sudah menjadi puing abu dan atap yang runtuh.
Subhanallah, ternyata dia wafat dalam keadaan memegang alquran kecil miliknya di pelukan. Dengan sebuah kitab Quran yang lebih besar dia sandarkan kepalanya. Mungkin memang api sangat cepat menjalar dan dalam hitungan menit melalap semuanya sementara listrik memang padam sehingga gelap gulita. Kesedihan yang sangat mendalam, sekaligus malu bahwa keponakanku ternyata memang mempunyai kebiasaan yang lebih baik dariku, mendekat pada al-Qurannya ketika sedang takut. Apatah aku ini? Apakah aku akan lari ke al-Quran, kitab yang kujunjung tinggi, ketika dalam keadaan takut. Aku malu pada keponakan mungilku yang beberapa jam sebelum musibah terjadi sempat menjadi imam shalat witir bagi saudara-saudara kandungnya. Ya Rabb…
Jadilah kau bak kunang-kunang di surga nak.. yang menunggu orang tuamu di pintu surga.. dan kelak akan menarik-narik orang tuamu ke dalam surga.. senang lah kau disana keponakan mungilku… engkau termasuk syahid….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H