Banyak yang menyebut generasi sekarang sebagai Generasi Stroberi, sebuah istilah yang menggambarkan generasi yang penuh potensi dan kreativitas tetapi lembek saat di bawah tekanan.  Hal ini dituduhkan karena para orangtua yang juga 'lembek'.  Hingga banyak generasi di atasnya mengagungkan didikan disiplin zaman mereka kecil dulu, sebagai cara mendidik yang lebih baik, membuat anak jadi lebih tangguh.
Sayangnya banyak yang menyamarkan kekerasan atas nama kedisiplinan. Tapi di lain sisi, mendidik anak tanpa disiplin adalah jurang menuju kehancuran generasi. Sebab sebelum anak ke dunia luar, rumahlah sekolah pertamanya, pendidikan pertamanya.
Sebagai bapak beranak dua, saya mau lebih introspeksi diri dan menyoroti generasi sendiri. Generasi yang pada umumnya sudah menjadi orangtua yang sebagian terjerumus dalam pola asuh Strawberry Parents.
Strawberry Parents mengingatkan saya sebagai orangtua agar tidak mendidik dengan gaya stroberi. Ini sepenuhnya pemahaman saya pribadi tentang mendidik gaya stroberi:
- Mengabulkan Semua Permintaan. Dulu, jika saya ngambek di toko mainan, Bapak dan Emak akan berjalan meninggalkan. Tak peduli sekeras apapun tangisan saya. Kini, banyak orangtua memanjakan, dengan dalih "mumpung ada uangnya", "kerja kalo gak buat anak, buat siapa lagi". Buatlah perjanjian dengan anak, jika dia berprestasi maka dia akan dapat sesuatu. Sebab saya meyakini, sesuatu yang terlalu mudah diraih pada akhirnya tak akan dihargai. Jangan jadikan diri kita sebagai Dora Emon yang menciptakan anak manja semacam Nobita.
- Memaafkan Semua Kesalahan Tanpa Konsekuensi. Ini adalah hal yang harus dibicarakan dengan pasangan. Jangan sampai ayah menghukum, ibu malah memberi grasi. Buatlah juga kesepakatan dengan anak, konsekuensi yang akan ia dapat jika melakukan kesalahan tertentu. Dan ingat, harus dijalani! Jangan sampai, karena kasihan hukuman dibatalkan. Jika itu terjadi, anak akan memandang anda sebagai orangtua yang gampang dikadali (oleh tangisan, misalnya).
- Melarang Kata Jangan. Berbeda dengan kata buku-buku yang bilang "jangan katakan 'jangan' pada anak", maka di sini saya mengambil jalan berbeda. Buat saya tak ada faedahnya meliukkan kata, apalagi memaniskannya. Anak harus tahu larangan dengan kata yang paling sederhana yang dimiliki bahasa Indonesia.
- Membereskan Semua Masalah. Biasakan anak mencari solusi atas masalahnya sendiri sambil kita mengawasi. Sesederhana tugas prakarya dari sekolah, ya jangan kita yang membuatkan. Kita membantunya sekadarnya saja. PR-nya jangan kita yang mengerjakan. Biarkanlah nilai buruk menjadi konsekuensi logis, jangan jadikan nilainya bagus tapi anda yang mengerjakan. Hati-hati, dia bisa belajar membuat masalah tanpa takut, karena orangtuanya selalu menyiapkan jalan keluar.
- Membela Berlebihan. Percayalah, tak selamanya anak anda protagonisnya. Jika ia berbuat salah, pastikan ia tahu cara meminta maaf. Serupa dengan poin 4, kalau anda selalu membela biar pun salah, jangan heran jika kelak ia hanya akan menghadirkan masalah.
Sudah mulai banyak contoh, anak yang menimbulkan masalah karena 'dididik' ala parenting strawberry. Mario Dandy, Mas-mas anak Bos Toko Roti dan Mbak-mbak Koas adalah contoh paling kiwari.
Sebagai orangtua, saya hanya bisa berikhtiar, mendidik disiplin dengan dasar cinta. Mewariskan piranti bersosial, karena dunia di luar sana tidak sebaik yang disangka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI