Mohon tunggu...
buaya dayat
buaya dayat Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas (Iklan, skenario, dll.)

Penulis lepas yang menulis apa saja sesuai kata hati dan bisa berkompromi menulis apa pun sesuai permintaan klien.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

The Geography of Bliss: Banyak Jalan Menuju Bahagia

16 Januari 2025   11:32 Diperbarui: 16 Januari 2025   11:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku adalah jendela dunia menemukan arti harfiahnya di sini. Eric Weiner sang penulis menulis dengan lincah dan jenaka. Bahkan versi terjemahan tak mengurangi keasikan membaca perjalanan Eric menjelajahi dunia untuk mencari kebahagiaan. Ya, tujuan perjalanannya ambisius dan memantik penasaran, "Apakah letak geografis bisa menentukan kadar kebahagiaan para penghuninya?"

Eric pergi ke 10 negara, sayangnya Indonesia tak termasuk, mulai dari yang diasumsikan negara maju hingga berkembang. Dari Swiss hingga India. Negara yang dianggap religius hingga yang melegalkan prostitusi dan ganja. Apakah perbedaan budaya dan aturan memengaruhi peringkat kebahagiaan? Berikut saya kutipkan kesan beberapa negara tersebut di mata penulis.

Swiss. Di negara yang terkenal karena kenetralannya, cokelat enak dan pisau lipatnya ini semua berjalan tenang, bahkan membosankan. Satu hal yang dihindari orang Swiss adalah menonjolkan diri karena mereka pantang memicu rasa iri. Mereka juga tak berlebihan menilai sesuatu sebagai mengagumkan atau super, cukup c'est pas mal yang artinya lumayan.

Apakah ini rahasia kebahagiaan? Hidup biasa dan tampil biasa-biasa saja? Sayangnya di sisi lain, Swiss adalah negara penuh aturan yang kontradiktif. Di sana menyiram toilet setelah jam 10 malam atau memotong rumput pada hari Minggu adalah ilegal, di lain sisi bunuh diri sangat legal. Swiss adalah negara yang memiliki undang-undang Euthanasia paling liberal di dunia.

Qatar. Saya rasa ini adalah negara idaman; sekolah gratis, bensin murah, yang menikah diberi sebidang tanah dan tunjangan bulanan. Semua terwujud karena booming temuan gas alam di negara ini (terbesar ke-3 di dunia), membuatnya jadi negara kaya raya dalam semalam. Hingga naik kelas bisnis dan punya jam mahal dan pulpen Montblanc adalah biasa-biasa saja.

Konsekuensinya ternyata tak berbanding lurus dengan rasa bahagia. Negaranya ahistosris. Penduduknya ogah kerja karena terlalu dimanjakan pemerintah. Lapangan pekerjaan 80% diisi warga negara asing, hingga jika mereka mogok negara bisa runtuh seketika. warga asli jadi pengeluh ulung dan suhu AC yang tak dingin bisa jadi berita utama. Sungguh dilema.

Thailand. Negara tetangga kita ini hidup di sisi ekstrem; ada pertunjukan berdarah Muaythai, makanan ajaib (kecoak, jangkrik, dll.), pertunjukan seks yang vulgar, kuil Budha hingga Ladyboy yang dinormalisasi.

Negara ini punya prinsip Mai pen lai yang berarti tidak apa-apa, bukan dalam arti marah melainkan pasrah atau jika ingin lebih spiritual disebut berserah. Lalu apakah Thailand bisa disebut bahagia?

Jelajahi saja tulisan kaya rasa dan sarat makna ini. Sayangnya buku ini belum menjelajahi semua benua di dunia, wabil khusus belum ada Indonesia di dalamnya. Mungkin kita sendiri yang harus mencari dan menuliskannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun