KAI Commuter: Sensasi Naik Mesin Waktu

Kisah cinta saya dengan KAI Commuter ini dimulai 29 tahun lalu, saat moda transportasi ini masih disebut sebagai KRL Jabotabek.  Rasa cinta yang bisa dibilang dimulai dengan cinta terpaksa, karena keadaan dan ketiadaan pilihan. 

Dulu (Tahun 1994 -- Tahun 2000)

Pada tahun 1994 saya lolos UMPTN (Ujian Masuk Peguruan Tinggi Negeri) dan diterima di Institut Pertanian Bogor.  Saya adalah keturunan Betawi (BEtah TinggAl di WIlayah), berasal dari Bapak seorang guru dan Emak ibu rumah tangga yang berjuang menghidupi enam orang anak, maka jangan heran jika rekreasi terjauh kami adalah Ragunan.  Bapak yang seorang guru Madrasah memandang Bogor dengan ragu-ragu, resah dengan jarak yang terlalu jauh takut biaya perjalanan tak bisa ditopang oleh gaji beliau.  Untunglah rumah saya hanya sepelemparan kolor dari stasiun, walau waktu itu saya belum pernah menaikinya. 

Seingat saya, beberapa waktu sebelum masa daftar ulang perkuliahan tiba, saya mencoba naik KRL tersebut dari stasiun Duren Tiga Kalibata.  Ternyata ini adalah moda transportasi ke Bogor yang paling murah (dibanding bus misalnya), walau harus diakui bukan transportasi yang mudah.  Jumlah penumpang banyak dan tak beraturan karena harus berebut ruang dengan pedagang asongan, pengamen, pengemis hingga pembaca puisi dadakan.  Saking penuhnya, di tahun itu adalah hal biasa melihat atap KRL menjadi tempat duduk juga.  

Hanya nyali saja yang membuat saya tak sampai ikut-ikutan naik ke wilayah yang 'lebih nyaman' karena bisa duduk selonjoran sambil ditiup angin seperti jagoan.  Sementara hal paling ekstrim yang saya lakukan adalah bergelantungan di pintu KRL, ya Anda tak salah membaca, bergelantungan di pintu KRL layaknya gelantungan di pintu Bus.  Bukan karena saya bernyali tapi lebih karena jadwal KRL yang padat dan jadwal kuliah yang tak bisa diajak kompromi. 

Kami 'beruntung', saat itu pintu KRL banyak yang rusak, hingga sisi pintu KRL memberi ruang untuk bergelantungan.  Jendelanya pun setali tiga uang, banyak yang tak bisa tertutup sempurna, hingga sisi jendela yang terbuka jadi pijakan para penumpang yang ingin naik kursi 'eksklusif' di atap kereta.

Kurang lebih enam tahun lamanya saya menjadi pengguna setia KRL, ongkosnya yang amat murah (saya lupa berapa) membuat segala ketidaknyamanan terasa wajar-wajar saja ketika itu.   Rutinitas naik KRL Jakarta -- Bogor membuat saya akrab dengan beberapa wajah di sana.  Termasuk teman satu kampus yang menggunakan angkutan yang sama, kami pun secara bangga mengaku sebagai Anker IPB (Anak Kereta). 

Pergi-Pulang di jam yang sama membuat saya hapal dengan beberapa pencari nafkah di dalam KRL tersebut.  Favorit saya adalah naik kereta Subuh dari stasiun Duren Tiga Kalibata, maka aroma KRL masih segar, bahkan kalau mujur ada aroma parfum pekerja, anak kuliahan atau pun sekolahan.  

Di jadwal subuh itulah tampil seorang pengamen dengan suara mirip Ebiet G. Ade.  Tarikan suaranya yang bening dengan lirik Ebiet sungguh membuat perjalanan ke Bogor menjadi syahdu.  Sebaliknya, kereta sore adalah horor, di situ akan tumpah ruah bermacam aroma kelelahan, kekesalan dan sumpah serapah.  Para pedagang asongan memaksa mencari jalan di tengah padatnya penumpang.  Hingga aksi pengemis yang menghampiri kami satu per satu seolah menyensus tingkat kepedulian kami.

Enam tahun bukan waktu yang sebentar.  Sempat dua kali saya mangkir tak bayar tiket, karena pemeriksaan di loket sangat lowong dan banyak jalan tikus yang bisa langsung masuk ke stasiun.  Sempat juga pura-pura tidur saat petugas datang memeriksa tiket, kalau dibangunkan maka saya akan memasang wajah kesal sambil bilang "Abu", kata lain dari abonemen tiket langganan kereta bulanan yang lazim digunakan para mahasiswa.  Tapi lagi-lagi, nyali saya menyerah patuh, saat teman kampus bercerita ia tertangkap basah tak punya tiket dan dihukum membersihkan toilet stasiun.

Ada kalanya saya menemui saat manis, saat bertemu gadis manis yang rutin naik di jadwal yang sama.  Ada kalanya bertemu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang di tengah para penumpang ribut menyuruh memberi hormat entah pada siapa.  

Selama enam tahun itu saya juga menyaksikan langsung dua peristiwa remaja terstrum di atap kereta.  Peristiwa yang bikin heboh, karena di dalam kami hanya mencium bau terbakar.  Dan cukup satu kata, KERETANYA KEBAKARAN!  Hebohlah kami panik merapat ke pintu keluar.  Peristiwa umum yang terjadi saat ada yang kesetrum adalah atap KRL bersih dari penumpang selama sehari atau maksmial dua hari saja.  Sisanya hidup berjalan seperti biasa lagi, seolah yang mati kemarin bukanlah anak manusia.

Kisah favorit saya sendiri adalah saat di suatu jam sibuk, saya heran dengan kosongnya sebuah gerbong KRL,  sementara gerbong yang lain penuh hingga banyak yang berdiri di pintu.  Saya pun dengan penuh rasa syukur masuk ke gerbong itu dan segeralah menyeruak bau tak sedap.  Ternyata di tengah lorong antara tempat duduk menumpuk dengan kurang ajar (maaf) KOTORAN MANUSIA!  Saya pun spontan melirik ke gerbong sebelah, disambut dengan tatapan geli mereka yang seolah berkata, 'Gue juga ketipu kok, tadi.'  Segera saya berpindah gerbong dengan perut mual. 

Ibu-ibu penjual sayur dengan sigap memberikan potongan jeruk limau, membagikannya pada para penumpang untuk mengurangi serbuan aroma tak sedap.  Akhirnya sepanjang perjalanan hingga ke Bogor, penumpang segerbong menanti-nanti siapa lagi yang masuk ke gerbong durjana tersebut.  Tapi setelah saya pikir lagi sekarang, ada yang nasibnya lebih durjana dari kami di hari itu, adalah orang yang bertugas membersihkan gerbong!

Kini (2014 -- Sekarang)

Begitulah hidup terus berjalan, usai saya lulus dari IPB dan bekerja di bidang yang (tentu saja) jauh dari pertanian.  KRL saya anggap jadi bagian sejarah yang tak akan bisa diubah.  Layaknya banjir dan macet seolah jadi paket wajib masalah kota besar.

Hingga datanglah Dirut KRL yang mengubah itu semua, Ignasius Jonan.  Gebrakannya pada awalnya saya tanggapi dengan nyinyir, apalagi saat foto beliau yang tertidur di kursi KRL membuat banyak orang tersihir, saya dengan keras kepala memilih tak percaya.

Pada akhirnya perubahan itu nyata.  Kurang lebih mulai terasa sekitar tahun 2014-an.  Tak ada lagi pedagang asongan, pengemis pun pengamen.  Tak ada lagi pintu dan jendela yang tak bisa tertutup sempurna.  Atap kereta steril dari penumpang. 

KAI Commuter pun kini sudah berganti pimpinan dan masih terus melanjutkan semangat perbaikan dari Pak Jonan.  Kereta kini dilengkapi kenyamanan AC.  Pembelian tiketnya pun cashless, bahkan mobile.

Pikiran sinis saya pada awalnya menuduh, pelayanan yang nyaman dan aman pasti menjadi konsekuensi harga tiket yang mahal.  Saya pun berinisiatif melihat harga terkini lewat aplikasi C- Access yang bisa diunduh lewat playstore.

Teman-teman lihat sendiri kan?  Kalibata -- Bogor hanya 5000 rupiah!  Bahkan anak kecil sekarang akan menuduh kita pelit jika angpau lebaran kita kasih segini.  Untuk bakso dan mi ayam pun kurang.  Saya jadi berpikir lagi, kalau tahun ini saja hanya 5000 perak, berarti saat saya kuliah dulu harganya berapa ya? (saya benar-benar lupa). 

Sungguh transformasi yang hebat!  Jika diri saya yang dulu disuruh naik KAI Commuter yang sekarang, pasti dia akan tak percaya kalau ini ada di Indonesia.  Semoga KAI Commuter terus berkomitmen memberi pelayanan yang aman dan nyaman, memberikan harga murah dengan ramah.  Amin.