PANGKUR
Nyimpang lan Nyingkur
Minggir, menepi, menghindari apabila terdapat perbincangan atau guneman, pembicaraan yang buruk. Seperti ‘ngerasanin’ orang. Membicarakan kejelekan orang.
“Nyimpang lan nyingkur yo ngger, yen kowe krungu konco-kancamu ngendikan alaning liyan. Ora pareng nyedhak opo dhene nderek. Mangke luput tur mboten patut.” Maksudnya kurang lebih begini, “Pergi dan menjauhlah ya Nak, jika kaudengar kawan-kawanmu membicarakan tentang keburukan sesama. Jangan mendekat apalagi mengikuti mereka. Nanti bisa salah dan itu tidaklah baik. Tidak patut.” Lalu simbahku nembang… Mingkar-mingkuring angkoro/ akaraning karenan mardi siwi/ Sineksen unine kidung/ sinubo sinukarto// tumrape ilmu luhur/ kang ono ing tlatah Jowo/ agomo ageming aji// salah satu potongannya seperti itu. Tentu tidak lengkap seperti asli tembangnya Simbah. Kalau mau tahu maksudnya lebih jauh sekarang boleh njawil mbah google.com terjemahan bahasa Jawa.
Hargai sesama. Hindari keburukan. Junjung karya dan jasa sesama, jangan dilihat, ditengok, diinget keburukannya semata. Seperti ada pepatah, kemarau setahun terhapus hujan sehari. Berbudi pekerti luhur, sabar, sareh, wicaksono. Bijaksana dalam menghadapi apa pun. Mencari solusi setiap ada problem.
Bisa dibayangkan, andai seluruh negeri ini melihat kejelekan-kejelekan orang melulu.Pasti kian terpuruk, segalanya ambruk karena beban berat ditambahi lebih berat lagi. Terang dan lebar pintu maaf untuk memberikan yang lebih baik. Makin awas, makin cerdas hati dan pikiran, tentunya mengutamakan kearifan. Andai kita lebih arif, maka setiap saat kita akan merasakan semilir angin kehidupan nan sejuk. Bukan angin badai yang menciptakan gelombang lautan, bahkan bencana didapat, tapi alunan dan riak, serta percik air nan indah di hadapan kita.
Kalau kita lupa, marah dan murka, bisa menyenandungkan tembang Pangkur, maka hati kita sejuk dingin, pikiran tenang nyaman, bekerja penuh semangat memandang seratus ribu tahun ke depan. Kita tidak hidup sendiri. Kita tidak benar sendiri. Kita tidak kuat sendiri. Kita tidak kuasa sendiri, karena sesungguhnya, dalam makna Pangkur ini, kita menjadi sadar, diri kita ini bukan apa-apa; tidak memiliki apa-apa; bahkan tidak bisa apa-apa. Kosong!
Dalam keadaan kosong inilah, kita akan menjadi mudah menerima banyak. Bejana yang penuh tidak akan bisa menampung apa-apa lagi. Andai dituangi, pasti tumpah! Di manakah kau dan aku kini? Masih berjalan lurus menabrak pagar, tembok, sungai, atau menyimpang dari duri dan onak nan tajam. Inget pesan Simbahku, “nembango Pangkur!”
Buanergis Muryono, Kebon Pala, Kamis 18 Maret 2010 3:44 AM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H