KINANTHI
Bersama-sama. Seiring sejalan. Dalam berbagai kitab suci disebutkan pula bahwa seseorang akan meninggalkan bapak dan ibunya agar mendapatkan pasangan hidupnya. Laki-laki akan mencari perempuan demikian sebaliknya seorang perempuan akan meninggalkan bapak ibunya demi menemani pasangan hidupnya. Kebijakan manusia Jawa menghantarkan anak-anak mereka mendapatkan pasangan hidup berdasarkan Bibit (benih/kawitan/asal muasal), Bebet (turunan/anak siapa), Bobot (kualitas keberimbangan, pintarkah, bodohkah, bijakkah? Miskinkah, kayakah, bertitelkah? Dst.) ….
Mempertemukan pasangan berdasarkan keberimbangan asal-muasal, keturunan, dan benih siapa merupakan hal mutlak supaya tidak ‘kesasar’, tersesat, keliru memilih. Jadi, kalau seseorang memilih pasangannya sendiri harus mempertimbangan masukan keluarga secara obyektif, jangan ‘nggugu karepe dhewe’. Jangan seenaknya sendiri! Akibatnya bakal buruk sekali. Misalnya seorang ayah tidak menyetujui pasangan anaknya karena diam-diam orangtua menyelidiki latarbelakang pasangan anaknya. Seorang perawan ngotot agar tetap memilih pasangannya karena seenaknya sendiri menyerahkan diri kepada pasangannya sebelum daub. Inilah yang mengawali kerusakan hidup. Bukan maju, modern, tapi ‘keblangsak’ atau tersesat, kesasar.
Pernikahan itu dijodohkan, wah, zaman Siti Nurbaya. Kurasa harus dipikir dengan nalar, ya. Pikir dengan bening dan sehat. Kebijakan orangtua menentukan Bibit, Bebet, Bobot dalam menjodohkan putra-putri mereka jelas sekali kedudukan mereka sebagai wakil Tuhan di bumi ini. Memiliki pengalaman terlebih dahulu sebelum anak-anaknya melangkah. Mereka adalah cermin dan kacabenggala bagi kelanjutan keturunan berkualitas (wiji pinilih).
Apabila ada yang menentang kehendak orangtua, selaraskan saja. Berikan apologi yang argumentative serta valid, maka kedua orangtua pasti mengikuti. Jadi sekarang tinggal penyelarasan serta komunikasi aktif. Komunikasi timbal-balik akan menjadi solusi bijak.
Seorang remaja ngotot, minta buru-buru dinikahkan, tidak tahunya sudah ‘icip-icip’, bahkan di dalam rahim telah bersemayam sang janin di luar nikah. Terbayang tidak, lahirnya sang anak jadi apa? Kelakuan dan sifatnya bagaimana, perilakunya macam apa?
Bagi pernikahan di luar perjodohan dan restu keluarga, jelas sekali akan melahirkan para raksasa. Ditambahkan lagi minumannya ASU (Asal Susu) bukan ASI (Air Susu Ibu). Lengkap sudah bagaimana perilaku generasi OWASA RAKSASA. Ini sebabnya, maaf sekali kalau sering saya singgung bahwa negeri ini dihuni para raksasa.
Kembali lagi ke muasal Tembang Kinanthi. Bersama-sama, tidak pernah ditolak dan dilarang para orangtua dan leluhur kita. Bahkan kalau anak-anak kita sedang mendapatkan kawan lawan jenis, orangtua menjadi bangga sekaligus deg-degan. Bangganya karena anak mereka mendapat teman hidup sedangkan deg-degannya apabila sang anak kurang bisa menjaga diri hingga ‘kebobolan’, istilah kerennya MBA (Married by Accident). Dilarang? Dengan terpaksa kedua orangtua ya menikahkan anak-anaknya daripada tidak bertanggungjawab. Di sini sekali lagi kedua orangtua kita bersikap loyal tinggi. Walaupun sang anak yang MBA ini kemudian menghadapi sangsi sepanjang hidup di depan mata keluarga. Selalu saja muncul dilema karena ketidakpuasan dari pihak-pihak tidak terpuaskan.
Kesempatan bersama-sama, Kinanthi inilah yang akan menumbuhkan cinta atau Asmaradhana. Contoh tembangnya minta tolong Pak Ouda ngasih ke linknya. Saya gatek banget.
Selama Kinanthi, bersama-sama, hendaknya saling menyelaraskan, menyocokkan, terutama hal Bibit, Bebet, Bobot tadi. Akan lebih sempurna bila keluarga dilibatkan, jangan mengumbar emosi dan keinginan hati semata, akibatnya nanti buruk karena tidak terkontrol ke depannya. Apalagi jika ingin melanjutkan generasi pinilih. Sekarang semua dikembalikan masing-masing, mau mendapatkan yang terbaik dan berkualitas atau ‘rongsokan’.
Kinanthi, bersama-sama untuk mengerti dan saling mengisi, menyelaraskan segalanya untuk mendapatkan Asmaradhana, cinta setulus kalbu. Cinta abadi yang dibangun, ditata oleh leluhur Jawa melalui peringatan dan leluri Tembang Kinanthi.
Bila ada kurangnya, silahkan dilengkapi. Hanya inilah yang masih tersimpan di memory pikiranku, mengingat pitutur Simbahku swargi. Memory tahun 1986, di lereng Muria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H