DUNIA ROH
Aku ditampar udara keras seiringan dera daun pintu. Blak. Aku mundur selangkah. Kelebat hitam mengasap. Anak-anakku saling berteriak dengan mata terbelalak, “Tangan Buntung,” seru Nirwana. “Kaki Buntung,” lanjutnya memutar kepala. “Leher Buntung,” dan Buana menukas cepat, “Kepala Buntung,” hari belum juga petang.
Tamu-tamu itu seolah menyongsong sang sahabat yang hendak dijelang. Adalah Sang Eyang yang sudah enggan bertopang badan. Kulit belulang tinggallah orang.
Tamu-tamu halus itu memenuhi loteng, jendela, kamar, lorong, bahkan atas kolam dalam rumah. Kedua anakku terus berbincang dengan mata tak sembarang pejam diiringi unjuk jari tangan.
Aku menyapa mereka, “Monggo. Assalamualaikum, terimakasih sudah datang.” Mendadak mereka tenang dengan melayang. Anak-anakku juga lebih nyaman, kecuali Nirwana langsung menyandarkan badan agar merasa aman ada yang memegang.
Buana, menyapa mereka seorang demi seorang. Ternyata mereka memang korban yang menanti ditempatkan.
Tamu-tamu halus itu, enggan berbincang dan diam, mereka terus melayang dengan pandangan jalang menatap pintu kamar Eyang.
Kebonpala, Minggu 16 Januari 2011 Buanergis Muryono Mangun Sarkoro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H