Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo terus menunjukkan komitmen kuat terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Sikap ini tak hanya cerminan solidaritas kemanusiaan, tetapi juga amanat konstitusi yang menegaskan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dukungan terhadap Palestina menjadi salah satu fokus utama Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode 2019-2020. Dalam forum ini, Indonesia memanfaatkan posisi strategis untuk memperjuangkan hak-hak Palestina yang kerap diabaikan.
Salah satu langkah nyata terlihat pada Februari 2020. Saat itu, Indonesia menginisiasi pertemuan informal DK PBB untuk membahas pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel, termasuk rencana aneksasi Tepi Barat. Pemerintah Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga merusak upaya perdamaian di kawasan.
Indonesia juga konsisten mendukung Resolusi 2334 yang menyerukan penghentian pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina. Peran aktif ini menunjukkan keberanian Indonesia dalam bersuara, bahkan di tengah dinamika politik global yang sering kali tidak memihak Palestina.
Namun, perjuangan ini bukan tanpa tantangan. Meskipun dukungan terhadap Palestina mendapat sambutan positif dari sebagian besar negara, ada pula pihak yang skeptis. Beberapa negara besar yang memiliki hubungan dekat dengan Israel kerap memandang langkah Indonesia sebagai tindakan yang kurang strategis.
Meski begitu, Presiden Jokowi tetap teguh pada prinsip bahwa kemerdekaan Palestina adalah isu kemanusiaan yang harus diperjuangkan tanpa kompromi. Pandangan ini menjadi landasan bagi setiap langkah diplomasi Indonesia, baik di level regional maupun internasional.
Di dalam negeri, komitmen ini juga terlihat jelas pada isu partisipasi tim nasional Israel dalam Piala Dunia U-20 yang semula dijadwalkan berlangsung di Indonesia pada tahun 2023. Meskipun turnamen ini murni bersifat olahraga, kehadiran Israel memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama kelompok yang mendukung Palestina.
Gelombang protes muncul, baik dari masyarakat maupun organisasi keagamaan. Banyak yang menilai bahwa mengizinkan kehadiran timnas Israel berarti mengabaikan perjuangan rakyat Palestina. Pemerintah berada dalam posisi sulit, di mana kepentingan politik luar negeri bertabrakan dengan tanggung jawab sebagai tuan rumah ajang internasional.
Keputusan FIFA mencabut status tuan rumah dari Indonesia akhirnya diambil setelah polemik ini memanas. Langkah ini mengundang beragam tanggapan. Di satu sisi, banyak yang mengapresiasi konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang merasa bahwa keputusan tersebut merugikan citra Indonesia di kancah internasional.
Penolakan terhadap partisipasi Israel ini menunjukkan bahwa isu Palestina bukan sekadar urusan politik global. Solidaritas terhadap Palestina telah menjadi bagian dari nilai-nilai moral dan identitas bangsa Indonesia. Meskipun konsekuensinya cukup berat, keputusan ini memperlihatkan keberanian pemerintah dalam mempertahankan prinsip.
Dalam konteks politik luar negeri, kedua kasus ini---peran di DK PBB dan penolakan timnas Israel---menggarisbawahi konsistensi kebijakan Indonesia. Di tingkat global, Indonesia aktif menyuarakan keadilan bagi Palestina melalui forum multilateral. Sementara di dalam negeri, dukungan terhadap Palestina diwujudkan melalui sikap politik yang berani, meski harus menghadapi risiko diplomatik.