Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikenal dengan pendekatan pragmatis yang berfokus pada kepentingan domestik. Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang melibatkan kerja sama strategis antara Indonesia dan China.Â
Proyek ini tidak hanya menjadi pencapaian dalam pembangunan infrastruktur, tetapi juga menggambarkan bagaimana politik luar negeri dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan nasional.
Pada tahap awal, proyek ini menarik perhatian karena melibatkan persaingan dua negara besar, Jepang dan China. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah memilih China sebagai mitra pembangunan. China menawarkan skema pembiayaan yang dinilai lebih menarik karena tidak memerlukan jaminan dari pemerintah Indonesia, berbeda dengan tawaran Jepang yang cenderung lebih konservatif dan penuh syarat.
Keputusan untuk bekerja sama dengan China mencerminkan keberanian Jokowi dalam mengambil langkah strategis yang berbeda. Pemilihan ini juga sejalan dengan visi pembangunan Jokowi yang ingin mempercepat pengadaan infrastruktur melalui kerja sama internasional.
 Meski begitu, langkah ini memunculkan sejumlah kritik, terutama karena Jepang dikenal memiliki rekam jejak yang baik dalam proyek infrastruktur seperti MRT Jakarta. Sebaliknya, kerja sama dengan China sering kali menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan kualitas pengerjaan.
Pilihan ini mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin rumit. Indonesia berada di tengah persaingan antara China dan negara-negara Barat, termasuk Jepang, yang masing-masing memiliki kepentingan besar di kawasan. Bekerja sama dengan China dipandang strategis karena menawarkan percepatan pembangunan infrastruktur nasional melalui skema pembiayaan yang menggiurkan.
 Meski demikian, langkah ini menuntut Indonesia untuk bermanuver secara hati-hati agar tidak tampak condong ke salah satu kekuatan besar. Menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi nasional dan prinsip bebas aktif menjadi salah satu tantangan utama dalam konteks geopolitik global.
China saat ini memegang posisi penting di kawasan Asia Tenggara, terutama melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang menawarkan pendanaan besar untuk proyek infrastruktur. Bagi Indonesia, inisiatif ini membuka peluang besar untuk mempercepat pembangunan, meskipun ada kekhawatiran terhadap potensi dominasi China dalam pengambilan keputusan strategis.Â
Ketergantungan pada investasi dan teknologi China yang terus meningkat dapat mengurangi fleksibilitas Indonesia dalam menentukan kebijakan luar negeri secara mandiri.
Dinamika ini juga mencerminkan tantangan dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang. Meski hubungan baik dengan Jepang tetap terjaga, keputusan memilih China untuk proyek kereta cepat menimbulkan spekulasi tentang perubahan prioritas politik luar negeri Indonesia.Â
Jepang, yang memiliki reputasi solid dalam proyek infrastruktur seperti MRT Jakarta, mungkin merasa perannya di Indonesia semakin terpinggirkan. Jika tidak dikelola dengan bijak, situasi ini berisiko mengganggu hubungan strategis jangka panjang antara kedua negara.