“Bapak...” suaranya mengandung keraguan. Ia hampir sepenuhnya yakin bahwa apa yang akan disampaikannya nanti akan menjadi beban baru bagi bapak. Tetapi dorongan lain dalam hatinya mendesak. Ia harus bicara apapun hasilnya.
“Ada apa, nak?” bapak menatap anaknya.
Mereka baru saja menunaikan makan malam dengan sayur daun kelor dan ikan asin. Menu rutin keluarga. Spesial. Dan ritual setelahnya adalah duduk di ruang tamu. Berkumpul membicarakan apa saja. Kekesalan pada pemerintah, ekonomi yang buruk, gaji tak naik, teman main yang nakal, sepak bola, gossip selebritis yang sering ditonoton di rumah tetangga, dan kadang diakhiri dengan soal menu besok siang. Puasakah besok? Pesan tak terucap di kesimpulan mereka.
Di ruangan berlantai tanah, mereka duduk di bangku kayu yang umurnya bahkan lebih tua dari usia bapak. Peninggalan kakek yang tersisa. Ketiga anggota keluarga menghindari tembok sabagai sandaran sebab belum diplester. Aroma kapurnya di kala musim hujan sangat menyengat. Seperti malam ini, rintikan kecil menghujani malam. Bohlam kecil menerangi semampunya.
“Saya minta dibelikan raket. Saya malu pinjam terus di teman-teman. Kemarin malam saya...” si anak tak melanjutkan.
Bapak tiba-tiba menunduk. Menggaruk kepalanya yang tidak sedang gatal. Ia tahu. Ia berada di lapangan bulutangkis dekat rumah mereka. Dan Ia melihat bagaimana anaknya mengantre untuk pinjam raket tetapi ketika tiba gilirannya, si teman tak memenuhi janji. Malah meledeknya. Hatinya pasrah tapi marah. Semalaman tak tak tidur memikirkannya.
“Bapak usahakan, ya.” Bapak mencoba senyum pada anak remajanya. Setahun lagi ia akan masuk SMA. Ia pun tahu dan maklum bahwa di usia itu, ego muda sedang menggelinjang.
Si anak mengangguk. Tetapi ia tahu bahwa keinginannya itu bakal sulit terpenuhi. Kemiskinan merenggut ego muda serta harapan darinya. Alih-alih bermutasi menjadi pemberontak, ia memilih pasrah dan menjauhi masalah. Miskin saja sudah merangkum, apa gunanya masalah yang remeh (kenakalan remaja).
“Sekarang kamu belajar di kamar. Jadilah orang pintar supaya bisa kerja yang layak dan nanti gajimu tinggi sekali!” titah bapak seraya mengerling pada ibu. Dan ibu tersenyum bangga.
Di ruang tamu, tinggallah bapak dan ibu. Keduanya tak memulai sepatah kata pun.Satu-satunya yang bicara adalah hujan. Hujan bilang ; atap bocor, tembok berkapur, aroma tanah harum, malam semakin malam. Tak secuil pun mengatakan tentang raket baru.