Mohon tunggu...
Bu Wi
Bu Wi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Berdomisili di Yogyakarta dan bekerja di Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1996. Lahir dengan nama "Wiratni". Biasa dipanggil "Bu Wi" oleh para mahasiswa/i. Biasa dipanggil "Emak" oleh putri tunggalnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Menengah Kejuruan Membangun Citra Baru

17 Mei 2010   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:10 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_142711" align="aligncenter" width="300" caption="Peserta Lomba Keterampilan SMK 2010 Bidang Instalasi Listrik (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] Tanggal 13-16 Mei ini saya (bersama banyak profesional lain dari berbagai latar belakang profesi) diundang oleh Depdiknas untuk membantu mereka sebagai juri di Lomba Keterampilan Sekolah Menengah Kejurusan Tingkat Nasional di arena PRJ Kemayoran. Ada 50 bidang lomba yang terbagi dalam empat kelompok, yaitu teknologi (28 bidang lomba), bisnis dan pariwisata (12 bidang lomba), pertanian (5 bidang lomba), dan kriya (5 bidang lomba). Saya masuk di kelompok teknologi bidang lomba kimia. Ini adalah event di mana kita berhadapan face-to-face dengan produk sekolah kejuruan di Indonesia. Produk-produk yang terbaik, untuk lebih tepatnya, karena anak-anak ini telah melewati proses-proses saringan di daerah masing-masing sebelum sampai di lomba tingkat nasional ini. [caption id="attachment_142712" align="aligncenter" width="300" caption="Peserta LKS SMK bidang kimia (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Banyak orang Indonesia memandang sebelah mata terhadap pendidikan kejuruan. Selalu dipandang sebagai lower grade dibanding sekolah umum. Mungkin ini adalah salah satu jejak kolonialisme yang masih tersisa di Indonesia: manusia terkotak-kotakkan dalam ruang-ruang vertikal pada sebuah piramida, yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Bangsa kita belum bisa memandang kedudukan orang secara egaliter, bahwa ada orang-orang yang disebut montir, ada orang-orang yang disebut direktur eksekutif, bukan karena yang satu lebih baik daripada yang lain, tapi karena memang untuk menjalankan kehidupan kita sangat membutuhkan orang-orang itu pada posisi masing-masing. Ada sekolah umum, ada sekolah kejuruan, bukan karena yang satu untuk anak baik dan yang lain untuk anak buruk, tapi memang ada anak-anak yang bakatnya sebagai pemikir konseptual, dan ada anak-anak yang bakatnya terletak di keahlian tangannya. Dua-duanya sangat diperlukan untuk menjalankan perekonomian. Kita perlu anak-anak yang berbakat yang disebut sebagai skillful person. Skillful itu ada bahasa Jawanya yang sangat pas: PRIGEL. Nah inilah yang saya lihat dalam lomba SMK kemarin: keprigelan yang mengesankan.

[caption id="attachment_142713" align="aligncenter" width="225" caption="Determined to win! (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Tapi se-prigel apapun anak-anak ini, mereka akan tetap dipandang sebagai lower grade kalau tidak ada upaya sistematis untuk mengubah asumsi publik yang sudah begitu mengakar kuat. Benar, lomba tingkat nasional ini adalah salah satu bentuk kampanye. Benar, direktorat SMK sudah rajin beriklan di berbagai media: SMK bisa! Saya salut pada seluruh jajaran direktorat yang membawahi sekolahmenengah kejurusan ini. Tapi dari berbagai usaha yang telah dilakukan Depdiknas untuk kampanye SMK, hal yang hilang di sini adalah: DETAIL. Sepertinya secara umum bangsa kita punya masalah di sini: konsep bagus, tapi gagap di detailnya. Kita ini bangsa yang superfisial. Bersemangat di permukaan, tapi tidak punya cukup energi untuk mengelola dengan tuntas. Misalnya, apa komitmen pemerintah untuk anak-anak hebat yang sampai ke lomba tingkat nasional ini dan bahkan menjadi juara-juara di bidang keahlian mereka? Sekedar uang pembinaan dan piala tidak cukup. Yang lebih mereka perlukan adalah masa depan. Sedikit uluran tangan dari pemerintah untuk mereka akan menciptakan contoh-contoh riil bahwa lulusan SMK bisa mendapatkan penghidupan yang sangat layak, bahkan tanpa melalui jalur universitas. Jika ada 5 juara per bidang lomba, maka per tahunakan ada 250 anak yang secara khusus difasilitasi untuk menjadi teladan bagi generasi Indonesia setelahnya: sekolah menengah kejuruan juga merupakan opsi yang menawarkan masa depan layak. Orang selalu perlu bukti, bukan sekedar slogan: SMK bisa! Indonesia bisa! Bisa apa? Apa performance indicator dari “kebisaan” itu? Produk laptop dan mobil rakitan SMK? Tentu saja hal itu adalah prestasi yang patut diacungi jempol. Tapi saya yakin sebetulnya rakyat Indonesia hanya menginginkan jawaban atas pertanyaan primitif: “Bisa kerja di mana para lulusan SMK ini? Mudahkah mencari lowongan pekerjaan untuk kompetensi mereka? Berapa penghasilannya?”

[caption id="attachment_142715" align="aligncenter" width="225" caption="Tangan-tangan terampil di bidang lomba elektronika (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Kembali ke anak-anak SMK cemerlang ini. Selama 3 hari saya mengamati mereka bekerja di antara alat-alat gelas di arena lomba kimia. Sulit memberi nilai yang bisa menentukan juara satu-dua-tiga dst hanya dari keprigelan anak-anak ini. Baru di sesi presentasi kami para juri bisa membedakan dengan jelas siapa-siapa yang layak menjadi juara tingkat nasional. Di sesi presentasi, kami melakukan ‘investigasi’, seberapa jauh anak-anak ini ‘menghayati’ apa yang mereka lakukan dengan sangat indah dalam sesi praktek. Mengapa Anda melakukan begitu dan bukan begini? Apa yang terjadi kalau konsentrasi larutan kita ubah? Dsb. Beberapa dari mereka kelihatan sekali merupakan produk dari proses drill, hasil programming oleh guru-gurunya demi sebuah piala. Inilah salah satu detail yang mungkin terlewat dalam pengembangan pendidikan Indonesia pada umumnya. Program pendidikan seakan dirancang demi tujuan-tujuan SESAAT (yang sudah pasti SESAT): entah itu angka kelulusan 100%, nilai rata-rata UNAS setinggi mungkin, juara olimpiade ini dan itu … Tanpa kita sadari, pendidikan kita ini hanya memproduksi manusia-manusia robot. Excellence without a soul! (meminjam istilah Dr. Harry Lewis dari Harvard University). Sebagaimana fitrah robot, dia akan berfungsi sempurna kalau programmernya baik, dan sebaliknya bisa menjadi destruktif jika salah program. Tapi sebaik apa pun robot, dia tetap tidak pernah menjadi milik dirinya sendiri. [caption id="attachment_142716" align="aligncenter" width="225" caption="Wajah tegang para guru mendampingi jago-jago mereka bertanding (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] Walaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan cara kebanyakan guru SMK ini mendidik siswa-siswanya, saya betul-betul salut pada guru-guru SMK ini. Dengan fasilitas yang sangat terbatas, mereka telah berusaha memberi semaksimal mungkin pada murid-muridnya. Lantas apa yang diberikan negara pada mereka? Apakah cukup dengan tambahan penghasilan? Betul, kesejahteraan guru adalah salah satu aspek untuk memajukan pendidikan. Tapi itu hanya SALAH SATU aspek. Dalam berbagai hal, uang tidak pernah menjadi solusi untuk problem yang mendasar. Uang itu seperti obat painkiller yang menghibur kita dengan menyamarkan rasa sakit, tetapi sebetulnya tidak pernah mengobati sumber sakitnya. Dengan dosis yang tidak terkontrol, justru resiko fatal yang didapat. [caption id="attachment_142717" align="aligncenter" width="225" caption="Guru-guru hebat di balik prestasi siswa ... Apa yang dilakukan pemerintah untuk membuat mereka lebih hebat lagi? (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] Kita baru bisa sadar posisi kualitas kita, apakah kita ini baik atau buruk, jika kita punya pembanding. Selama ini, sekolah ke luar negeri sepertinya hanya privilege bagi para dosen. Mengapa Indonesia tidak menyekolahkan guru-guru ke luar negeri seperti Indonesia mendorong dosen-dosennya ke luar negeri? Jaman dulu, Pak Habibie pernah meluncurkan program pengiriman putra-putra terbaik bangsa ke luar negeri untuk mempersiapkan mereka mengisi posisi-posisi strategis dalam pengembangan teknologi di Indonesia. Kok hanya untuk pembangunan fisik saja yang dipikirkan? Kenapa kita tidak pernah punya program serupa itu untuk upaya pengembangan SDM Indonesia? Bagaimana bisa menghasilkan SDM yang kompetitif di level global kalau guru-gurunya bahkan belum paham betul apa makna sebuah ‘kualitas’? Kesempatan ke luar negeri bukan hanya soal mendapat gelar, tapi lebih utamanya masalah benchmarking, studi komparasi diikuti dengan introspeksi. Bagaimana kita tahu kita ini baik atau buruk kalau tidak pernah punya pembanding? Para penentu kebijakan negara ini perlu belajar memahami bahwa uang saja tidak otomatis menyelesaikan semua problem. [caption id="attachment_142720" align="aligncenter" width="225" caption="SMK bukan cuma soal kabel dan batu bata (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_142722" align="aligncenter" width="225" caption="SMK memberi warna baru pada Indonesia masa depan (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_142729" align="aligncenter" width="225" caption="Mulya Yunita, SMK Caraka Nusantara Jakarta, Juara I Bidang Kimia (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_142730" align="aligncenter" width="225" caption="Rima Melati, SMKN 3 Madiun, Juara 2 Bidang Kimia (foto dokumentasi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_142732" align="aligncenter" width="225" caption="Yudi Harianto, SMTI Padang, Juara 3 bidang kimia (foto dokumentasi pribadi)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun