Mohon tunggu...
Bagus Bt Saragih
Bagus Bt Saragih Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Justice for all..! @btsaragih www.bagus-saragih.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PNS Muda (Melawan) Korupsi

13 Desember 2011   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:21 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pilihan take it atau leave it, dua-duanya pilihan para pesimis. Menyerah sama keadaan. Orang optimis rupanya punya pilihan ketiga: fight it!


Bagus BT Saragih

Ndak tahan saya. Gemas, (sambil meremas-remas Kompas kemarin sampai suwek... Endak ding, becanda, he he he).

Tajuk dan berita utama media massa dua-tiga hari terakhir heboh juga ya. Di warung dibicarakan. Angkot. Ibu-ibu tetangga dapat bahan ngerumpi baru. Sampai-sampai perhatian kita teralih dari jembatan megah KuKar yang ambruk bak sulapan.

Cerita “dahsyat” itu bermula dari wakil ketua PPATK Agus Santoso.

“Kaget saya, Gayus itu ternyata tidak cuma satu. Ada juga yang lain… rekeningnya miliaran,” kata Agus yang belum genap 2 bulan di kantor pemantau aliran dana itu.

Saya sih enggak yakin dia kaget benar. Apapun, pernyataannya jadi perbincangan hangat.

Yang bikin saya geregetan bukan korupsinya, tapi pemberitaannya. Lho?

Naif saya kalau bilang birokrasi kita tidak korup. Meski tidak semua lini sudah pasti tidak beres, tapi saya meyakini sebagian besar masih menerapkan praktik-praktik ilegal. PNS ketahuan nilep dana tidak halal tidaklah hal baru.

Bukannya menganggap korupsi itu wajar. Masalahnya ini diberitakan ramai-ramai. Ada efek psikologis yang meluas.

Buat beberapa punggawa media barangkali pemuda usia 30-an punya duit seharga Bentley itu luar biasa. Masa gaji 2 juta-an, masa kerja belum 5 tahun, golongan IIIB, bisa sekaya itu? Tulis besar-besar!

Saya awak media. Buat kami, headline media terbesar mau tidak mau jadi pertimbangan. Riskan resiko koran kami dianggap tidak update. Yah, nasib media menengah yang kerap (terpaksa) mengekor. (Curcol mode)

Jadilah kami berperan ramaikan isu yang menurut saya enggak heboh-heboh amat ini. Maafkan...

Kembali ke kegusaran saya. Yaitu efek psikologis tadi. Di awang-awang terbayang teman-teman sesama alumni PWK. Berapa banyak yang PNS? Angkat tangan! Banyak yang malu-malu nih, apa gara-gara sedang ramai pemberitaan PNS ber-rekening gendut ini? He he he...

Alumnus PWK UB tertua angkatan 1998. Saya termasuk. Usia sekarang 30-an. Pas seperti profil PNS muda ”korup” menurut PPATK.

Maka saya membayangkan, kalau saya PNS, kayaknya sedikit-banyak ada pengaruh psikologis.

Nanti karena berseragam di angkutan umum dinilai orang gara-gara berita itu. Atau enggak sengaja dengar orang ngomongin hal itu jadi enggak enak hati.

Kepinginnya teriak keras-keras, ”Jangan sama ratakan oooy...! Tidak semua PNS itu korup!” Saya sering kepingin lontarkan teriakan yang mirip-mirip ke orang ”kolot” yang masih samaratakan wartawan sering dapat duit dari suap atau malak nara sumber. (Curcol lagi)

Ini imajinasi lho. Ndak tahu teman-teman yang PNS se-lebay saya gini apa tidak.

Tapi memang watak orang mudah generalisasi, stigma. PNS, bagi banyak kalangan, masih jadi impian. Tapi makin tinggi juga populasi mereka, kebanyakan kaum terididik perkotaan, yang makin memicingkan mata terhadap para abdi negara. Terutama karena berita-berita belakangan.

Mereka lupa, negara tidak jalan tanpa pelayan-pelayan masyarakat.

Dulu, ketika saya akhirnya jadi kuli tinta, saya tengadahkan kepala dan berkata, ”Untung saja tidak jadi PNS. Bisa-bisa terjebak, tergeret di sistem yang korup.”

Sebenarnya sih itu nyeneng-nyenengin hati saja karena tidak diterima tes di Kementrian PU, he he he...

Tapi kata-kata saya di atas berpotensi mengesankan saya sombong. Padahal sebenarnya saya pengecut!

Ya. Karena, antara pilihan take it atau leave it, saya pilih leave it.

Padahal ini sebenarnya pilihan seolah-olah birokrasi bobrok tidak bisa berubah. Dua-duanya pilihan para pesimis. Menyerah sama keadaan.

Take it aja deh, ya memang sudah begini turun temurun, toh yang lain juga begitu semua.” Tidaaaak…!

Orang optimis rupanya punya pilihan ketiga: fight it!

Saya di luar sistem. Saya belakangan sadar, di sini bisa tidak sekedar leave it, tapi ikut fight dari luar. Kawal dengan tinta.

Tapi yang hebat, mereka yang berani fight di dalam. Yaitu teman-teman semua yang PNS!

Saya mahfum beratnya melawan kebiasaan bertahun-tahun. Sampai-sampai ada yang tidak sadar melakukan suatu kegiatan "turun-temurun" padahal perbuatan itu sesungguhnya melanggar hukum. Banyak yang begini berakhir di bui. Mantan menteri Rokhmin Dahuri barangkali contohnya. Kasihan.

Sedangkan kalau menolak arus, dicemooh, disingkirkan. Jadi terkucil di lingkungan kerja sendiri. Lebih parah lagi, intimidasi. Menolak permintaan atasan karena merasa tidak benar, dianggap sok suci. Apesnya lagi, karir mentok. Dijegal.

Belum lama teman seangkatan cerita tidak betah di institusinya. ”Wes rusak kabeh, gak kuat aku...,” katanya. Duh!

Yang begini-begini tidak saya hadapi sebagai jurnalis. Nulis mah tinggal nulis aaaja. Paling-paling dimusuhin narasumber, tapi tidak teman sekantor. Karir juga tidak pengaruh. Makanya saya salut sama rekan-rekan yang mengabdi di instansi plat merah.

Berani berkata tidak saja itu sudah sesuatu banget, apalagi kalau bisa bawa perubahan. Kata kitab suci, jadilah garam. Asinkan semua. Ini baru top. Alhamdullilah ya...!

Tapi jangan kotakkan pengertian fight it dengan ”memberontak”, berteriak keras-keras: ini salah, itu tidak benar! Soft lah. Cerdik menempatkan diri tetap penting.

Tegar menghadapi pengentalan stigmatisasi ini dengan tetap berkarya jujur, misalnya, juga bagian dari perjuangan.

Saya yakin, alumnus PWK UB di barisan depan PNS-PNS muda idealis yang tidak ragu berkata tidak untuk yang salah.

Makin banyak PNS muda yang berani melawan arus, makin efektif pembenahan birokrasi. Suatu saat bukan yang jujur yang merasa terkucil. Ayo bareng-bareng kita bikin yang korup itu yang isin dewe.

Ini baik, karena tidak bisa cuma andalkan KPK nangkepin pejabat korup. Penegakan hukum kita juga belum bebas kepentingan!

Jadi, jangan pakai jaket untuk tutupi seragam kalau naik Metro Mini. Senyum yang lebar dengan kepala tegak. Karena anda-anda semua juga pahlawan tanpa tanda jasa!

Tabik!

Catatan: Tulisan ini saya persembahkan terkhusus pada adik-adik kelas saya se-almamater di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Brawijaya, Malang, yang banyak berkiprah sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Namun harapannya bisa bermanfaat juga bagi semua.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun