Mohon tunggu...
Bambang Trihatmojo Respati
Bambang Trihatmojo Respati Mohon Tunggu... Buruh - -

Seorang awam yang gemar mengomentari tentang banyak hal tanpa berbasis data dan teori.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menghadapi Kemungkinan Penolakan Vaksin(asi)

16 Februari 2021   16:14 Diperbarui: 16 Februari 2021   16:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pemerintah baru saja mengeluarkan "payung hukum" terkait vaksinasi covid-19 yaitu Perpres no. 14 tahun 2021 yang di dalamnya, tepatnya di pasal 13A ayat 4 dan pasal 13B, tercantum akan adanya sanksi administratif bagi penerima vaksin yang menolak untuk divaksinasi. 

Sebelum berkomentar tentang perlunya sanksi bagi yang menolak, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu hal-hal apa saja yang bisa menyebabkan seseorang untuk menolak vaksinasi. Beberapa sebab yang bisa mendorong seseorang untuk menolak vaksinasi antara lain 1) pandangan religius, 2) ketidakpercayaan terhadap pengobatan modern, dan 3) ketidaksukaan terhadap pemerintah seperti yang ditulis dalam Tajuk Rencana harian KOMPAS terbitan tanggal 16 februari 2021.

Selain 3 hal di atas, ada juga kemungkinan ketidakpercayaan terhadap efikasi vaksin dan kekhawatiran akan efek samping dari vaksinasi. Ketidakpercayaan dan kekhawatiran tersebut bisa saja diakibatkan oleh ketidakyakinan atas proses produksi vaksin yang diburu-buru dan kekurangmampuan pemerintah dalam meyakinkan warga. 

Pemerintah harus terlebih dahulu melakukan riset dan yakin bahwa efek negatif dari vaksin sudah diminimasi secara maksimal dan lalu secara masif dan jujur mengabarkan efikasi dari vaksin, efek negatif yang mungkin timbul dari vaksin, dan resiko jika tidak divaksin kepada warga.

Terkait pemberian sanksi bagi penerima yang menolak, sebaiknya pemerintah menggunakan pendekatan reward terlebih dahulu ketimbang menggunakan pendekatan punishment. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, sseseorang akan lebih resisten terhadap peraturan yang konsekuensinya hanya berisi hukuman. 

Memasukkan jaminan pemberian kompensasi bagi penerima vaksin jika mengalami kecacatan atau meninggal sebagai akibat dari vaksinasi seperti tercantum pada pasal 15A dan 15B juga sama sekali tidak membantu menurunkan resistensi. Jaminan kompensasi tersebut menyiratkan bahwa vaksin dan vaksinasi masih atau memang mempunyai resiko untuk menyakiti penerima sampai ke kondisi cacat atau meninggal.

Sebuah peraturan akan lebih mudah untuk diterima dan dijalankan jika menjanjikan reward bagi yang menjalankan. Dan kompensasi atas efek buruk yang mungkin timbul akibat dari vaksin/vaksinasi bukanlah sebuah bentuk reward. Contoh insentif bagi yang menerima untuk divaksinasi bisa berupa diskon atau penggratisan biaya angkutan umum, diskon atau penggratisan biaya kegiatan konsumtif, dan lain-lain.

Terkait reward, pemerintah tidak perlu menjelaskan dalam peraturan seperti dalam perpres di atas. Pemerintah bisa bekerja sama dengan pelaku atau pemilik usaha dalam bentuk insentif pajak untuk mendorong pelaku atau pemilik usaha memberikan insentif bagi konsumen yang sudah divaksin.

Belajar dari apa yang terjadi selama lockdown dan pembatasan kegiatan, kekhawatiran untuk tidak bisa mencari uang membuat beberapa warga nekat tetap melakukan kegiatan demi mendapat uang. Ancaman denda dan penundaan bantuan dari pemerintah hanya akan menambah kekhawatiran tersebut dan berpotensi membuat warga semakin tidak suka terhadap pemerintah.

Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan reward, warga akan less resistant terhadap vaksinasi dan kemungkinan malah akan mendaftar untuk divaksin karena ada potensi mendapatkan keuntungan ekonomi di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun