Ketika dunia terbagi menjadi dua bahagian besar: Barat dan Timur, Gibran muncul sebagai jalan penghubung yang mesra dan romantis. Sebagai seorang Arab yang kental akan budaya Timur, Gibran menunjukkan kekhasan Timur di Barat. Pun dari Timur, ia terteropong kentara memperlihatkan mekarnya cinta ala Barat.
Tumbuh di antara cedar-cedar Lebanon, masa remaja membalut Gibran muda untuk menengok gambaran Barat. Dia bahkan tak hanya menengok, tapi kemudian tercebur ke dalamnya. Dalam pusaran romantisme Barat, Gibran mengaduk romansa Timur pula. Dan dari kepekaan dan pengendapan hayati yang mendalam, ia keluar sebagai pemenang pusaran dengan mewartakan pada dunia tentang universalitas cinta.
Universalitas cinta, itulah pusat dari penerjunan pemikiran Gibran ke dalam karya-karyanya. Cinta yang tak merujuk pada satu golongan, cinta yang takberpihak pada satu keyakinan. Keyakinan akan kepastian pemberian luhur cinta: keabadian, memberikan Lazarus-Lazarus yang terus berkelana dalam pemikiran manusia pembaca karya Sang Kahlil.
Perbedaan mungkin akan menimbulkan kesenjangan yang merujuk pada dengki bahkan tinggi hati. Namun, bagi Gibran semua adalah sama di hadapan cinta. Cinta memberi pencerahan dan kecemerlangan abadi di antara tabir-tabir kelam dunia yang mengaburkan pandangan sejati anugrah Sang Gusti.
“Aku mencintaimu saudaraku. Entah engkau yang sedang berlutut di sinagog ataukah engkau yang sedang khusyuk berdoa di dalam gereja”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H