“…Saya kira presiden juga harus tergerak hatinya paling tidak untuk mempertanyakan: Apa yang salah dengan bangsa kita? Apa yang salah dengan negeri ini? Bagaimana nasib republik ini bila semua berlarut-larut?”1
Pernyataan ini diungkapkan oleh Adnan Buyung Nasution, seorang pengacara senior dan juga ketua Tim Delapan—tim yang dibentuk oleh presiden, untuk mencari fakta dalam kasus Bibit-Chandra.2 Beliau mengharapkan presiden untuk cepat tanggap dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat kedua pimpinan KPK itu.
Tak hanya presiden, kita juga harus tergerak melihat berbagai kasus kejahatan dan kebobrokan moral yang menimpa negeri ini. Sesungguhnya, hati kita tak cukup hanya tergerak saja. Kita juga harus bergerak, menyingsingkan lengan baju untuk memperbaiki bangsa ini. Hati kita boleh tergerak, tetapi kaki dan tangan kita harus bergerak memandu bangsa ke arah yang lebih baik. Hal ini bisa diwujudkan mulai dari kesadaran diri sendiri seperti taat peraturan, anti korupsi, tidak membuang sampah sembarangan, dll.
Tergerak berarti tergugah atau timbul keinginan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, bergerak memiliki arti (mulai) melakukan usaha, mengadakan aksi dan berusaha giat.3 Dapat disimpulkan bahwa tergerak masih sebatas niat atau keinginan, sementara bergerak berarti bertindak atau beraksi. [Tekanan oleh pen.]
Mengapa kita harus tergerak dan bergerak memandu bangsa? Beberapa hal berikut perlu kita perhatikan.
Pertama, tergerak tanpa bergerak berarti hati kita tergugah tapi tidak berbuat apa-apa. “Ketergerakan” kita hanya sebatas perasaan tanpa perbuatan. Bayangkan, jika kasus korupsi kita sikapi dengan hati tergugah tanpa berusaha mencegah atau memperbaikinya, maka yang terjadi adalah korupsi semakin melambung tinggi. Contoh lain, kita tak boleh hanya tergerak melihat sampah yang berserakan di jalan. Tapi, mulailah bergerak membuang sampah pada tempatnya bahkan kita bisa menyadarkan orang-orang di sekitar kita untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Kedua, jika hanya tergerak tanpa bergerak, bangsa ini tidak maju-maju karena tidak ada yang memandu. Artinya, tak cukup hanya hati yang tergugah, kita harus turun tangan dan berdiri memandu bangsa. Kita harus mengadakan aksi nyata atau melakukan usaha, tak hanya sebatas niat atau menimbulkan keinginan semata. Misalnya, untuk menyikapi kasus korupsi di negeri ini, kita harus teguh untuk tidak terlibat sedikit pun atau sebagai pendidik/pemimpin, kita bisa menanamkan budaya anti korupsi kepada anak didik/bawahan kita.
Ketiga, jika tidak bergerak memandu, tak diragukan lagi bangsa ini akan menuju kehancuran dan kebobrokan yang semakin parah. “Ketergerakan” hati sekaligus tindak nyatanya harus ditumbuhkan jika tak ingin melihat tanah air tercinta ini hancur. Ambil contoh, Adnan Buyung Nasution, tergerak hatinya untuk memperbaiki bangsa. Beliau bergerak dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu dan buta hukum.4 Selain itu, beliau juga aktif mengusut kasus-kasus korupsi di negeri ini.
Melihat ketiga hal di atas, tampak jelas bahwa kita tak boleh hanya tergerak tetapi juga harus bergerak untuk memandu bangsa. Agar republik ini tidak berlarut-larut dalam kebobrokannya, kita harus bertindak nyata. Kita bisa berkiprah dalam bidang yang kita geluti masing-masing—tergerak dan bergerak memperbaiki negeri.
Kiranya hati kita tergerak melihat bangsa ini dan tangan-kaki kita bergerak memandunya.