Sehabis membaca Bumi Manusia, buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, aku terkesan akan kecerdasan tokoh utama dalam roman itu. Minke namanya.
Aku simpulkan bahwa pada zaman itu, zaman kolonial Belanda, manusia yang mengecap pendidikan atau bersekolah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari pada mereka yang tidak. Pada zaman itu pula, pendidikan hanya diperuntukkan bagi bangsa Eropa, Indo, keturunan Eropa dengan pribumi (bangsa Indonesia) dan elite pribumi.
Minke sendiri bukanlah keturunan Indo. Ia seorang pemuda pribumi asli, orang jawa tulen. Ia memiliki kesempatan untuk bersekolah karena nenendanya dan ayahnya yang menduduki jabatan pemerintahan di kotanya. Ia pemuda terpintar dan sangat dihormati dalam keluarga.
Pertama-tama ia masuk sekolah E.L.S dulu (mungkin setingkat SD) selama beberapa tahun, kemudian melanjutkan ke sekolah H.B.S (mungkin setingkat SMP dan SMA) selama lima tahun.
Yang kukagumi adalah kegemaran dia menulis. Dengan nama pena, Max Tollenaar, ia menuangkan gagasannya dalam tulisan dan dimuat dalam surat kabar lokal milik salah satu pengusaha Belanda.
Tulisannya sangat bagus, begitu kata pembacanya yang kebanyakan adalah orang Eropa dan Indo. Ia juga menulis dalam bahasa Belanda bukan Melayu.
Dalam masa koloni itu, hak pribumi tak pernah diakui. Bila berurusan dengan Indo atau Eropa, pribumi tak pernah menang meskipun benar. Miris memang, tapi begitulah nasib bangsa terjajah.
Saat Minke mendapat masalah, khususnya saat menghadapi pengadilan tentang terbunuhnya Tuan Mellema, ayah calon istrinya, Annelies Mellema, ia habis dipermalukan di pengadilan karena seorang siswa H.B.S yang notabene berpendidikan dan berilmu tinggi, tinggal serumah dengan calon istrinya di rumah seorang nyai. Meski pada akhirnya mereka menikah sah secara agama Islam.
Sebutan nyai adalah untuk wanita, istri simpanan atau istri tidak sah orang Belanda pada waktu itu. Nyai biasanya seorang pribumi. Sebutan nyai dianggap buruk, barangkali karena status sebagai istri tidak sah. Jadi dianggap kurang memiliki moral.
Memang pengadilan saat itu sungguh keterlaluan karena membahas masalah pribadi di depan umum. Ditertawakan pula. Sungguh keterlaluan. Tapi apa boleh buat, pribumi tak diakui berbicara.
Perang urat syaraf pun terjadi antara Minke dan orang-orang yang membencinya. Perang itu bisa disebut perang tulis-menulis karena mereka berperang melalui surat kabar. Minke menulis pernyataannya dalam surat kabar saat ada yang mengatakan hal yang tidak benar tentang dirinya, Annelies, dan Nyai Ontosoroh, ibu Annelies.