Bulan keempat tahun dua ribu empat belas silam, aku dipanggil salah satu sekolah nasional plus di daerah Jawa Barat untuk mengikuti wawancara dengan pihak sekolah. Aku melamar untuk menjadi pengajar sekolah dasar (SD) di sekolah itu. Saat pertama kali kakiku menginjak lokasi sekolah, aku kagum. Sekolahnya bersih dan rapi. Beberapa pohon dan tanaman lain menghiasi pekarangan. Bapak satpam yang menyambutku pagi itu pun sangat ramah. Beliau langsung mengantarkanku ke ruang tunggu untuk bertemu dengan orang-orang penting yang akan mengujiku. “Wah, inilah yang patut di sebut sekolah, lingkungannya bersih, tenang, damai dan ramah pula,” ujarku dalam hati.
Singkat cerita, aku menjalani beberapa tes dan akhirnya diterima sebagai guru di sekolah itu. Aku melihat ruangan-ruangan kelas yang tertata rapi dan bersih sekali. Awalnya, aku kira kebersihan di sekolah itu dilakukan oleh siswa. Ternyata, sekolahku menyediakan janitoratau orang yang bekerja untuk membersihkan kantor. “Kalau janitor semua yang membersihkan kelas dan lingkungan sekolah, enak sekali pelajar-pelajar jaman sekarang ya!” pikirku. Aku teringat ketika aku duduk di bangku sekolah, semua kebersihan kelas ataupun lingkungan sekolah dilakukan oleh siswa-siswi. Sekolah biasanya mengadakan hari khusus untuk bersih-bersih. Untuk kelas, guru biasanya membuat jadwal piket. “Lalu, bagaimana guru-guru di sini mengajarkan tentang kebersihan ya?” “Lalu, bagaimana kalau mereka dewasa nanti, apakah mereka bisa mandiri untuk membersihkan sesuatu?” hatiku bertanya-tanya.
Aku pun mendapat ruangan kelas. Aku wajib mendekorasi dan menata rapi kelasku untuk menyambut murid-murid yang siap diajar. Anak-anak di tempat ini sungguh ramah. Budaya saling sapa bisa terlihat apalagi di pagi hari. Guru menyapa murid dan sebaliknya.
Setelah mengajar beberapa bulan, aku mengamati kebersihan kelasku. Kebanyakan anak belum bisa menjaga kebersihan dengan baik. Saat mereka menggunting, kertas bekas guntingan kadang tidak dibuang ke tempat sampah yang jaraknya hanya beberapa meter dari ruangan kelas. Saat mereka menumpahkan sesuatu di meja atau lantai, mereka langsung cepat bertindak…bertindak memanggil janitor untuk membersihkannya. Saat makan atau minum di kantin pun, terkadang mereka tidak membersihkan meja dan tempat duduknya. Bahkan, tas dan loker mereka juga dipenuhi sampah. Aku pikir mereka bisa berlaku seperti itu karena kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan. Terkadang, kenyamanan dan kemudahan membuat potensi dalam diri tak maksimal dan membuat manusia menjadi malas. Mereka tau yang bersih tapi tak mau menjaganya.
Aku sungguh geram melihat tingkah laku anak-anakku ini. Aku pun menceritakan bagaimana kisahku dulu saat duduk di bangku SD. Aku wajib membersihkan kelas. Mereka terpaku mendengarkan kisahku. Mungkin karena aku berasal dari sekolah pedalaman yang terbatas dan mereka di perkotaan lengkap dengan fasilitas. Aku pun mengajak mereka untuk membuat kesepakatan. Mereka tidak boleh memanggil janitor untuk membersihkan kelas dan tempat yang mereka pakai saat proses belajar-mengajar berlangsung. Piket kebersihan di kelas juga kami tentukan.
Awalnya, beberapa siswa susah melakukannya. Namun, karena gurunya terus mengingatkan dan tentu saja memberi contoh, generasi penerus bangsa ini pun mulai sadar. Sesama mereka juga sering saling mengingatkan saat mendapati temannya melanggar peraturan ini. Syukurlah, pihak sekolah juga menyadari kemerosotan murid-murid dalam hal kebersihan. Sekolah mulai menyediakan tempat sampah untuk organik dan tidak organik. Bahkan, beberapa kali sekolah mengumpulkan sampah botol plastik untuk dipakai sebagai dekorasi. Selain itu, poster-poster juga ditempeli untuk mengingatkan anak berbudaya bersih dan senyum sapa.
Ini tahun ketiga aku mengajar di sekolah ini. Peraturan yang sama tetap kuberlakukan untuk kelas yang aku ajar sampai sekarang. Pertama, sapa gurumu di manapun dan kapanpun engkau bertemu. Kedua, budayakan hidup bersih. Mulai dari tempat sendiri dan tentunya juga hati. Budaya bersih dan senyum sapa memang berawal dari rumah. Namun, mayoritas anak-anak kota menghabiskan waktunya di sekolah. Jadi, sangatlah efektif jika budaya seyum sapa dan bersih diperkuat juga di sekolah. Dan, kalau bukan kita yang mengajar, memberi contoh dan mengingatkan para penerus bangsa, siapa lagi? Yuk, mari budayakan bersih dan senyum sapa karena kita adalah Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H