Mohon tunggu...
Hotgantina S
Hotgantina S Mohon Tunggu... Guru - Hidup untuk berbagi. Berbagi untuk hidup.

Pengajar yang terus belajar. Suka makan coklat, minum teh dan mendengar suara gitar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Band Jadi Pahlawan!

12 November 2015   10:37 Diperbarui: 12 November 2015   16:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Untuk mengenang WR Supratman, penggubah lagu Indonesia Raya, dibangun sebuah monumen di depan rumah tempat wafatnya di Jl Mangga 21 Tambaksari, Surabaya. Sebelumnya pada 18 Maret 2003 dilakukan peresmian pusara WR Supratman di Jl Tambaksegaran, Klangkah, Surabaya, oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Foto: KOMPAS/RIZA FATHONI"][/caption]“Miss, saya baru tahu loh kalau Supratman itu anak band. Ternyata anak band juga bisa jadi pahlawan ya! Saya kira semua anak band itu buruk, soalnya lebih banyak hal negatif yang saya lihat daripada yang positif.” Itulah salah satu komentar orang tua siswa menanggapi penampilan drama pahlawan Indonesia, Wage Rudolf Supratman, yang diperankan oleh kelas 4 SD SDH Cikarang.

Wage Supratman, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” memang pernah ikut dan mengambil bagian sebagai penggesek biola bersama “Jazz Band Black and White” tahun 1920 di Makassar. Atas bantuan kakak iparnya, WM van Eldik, Supratman belajar musik khususnya biola dan gitar serta sekolah guru dan bahasa Belanda di Makassar. Supratman dan kakak iparnya juga yang mendirikan jazz band itu. Setelah lulus sekolah, ia pun mengajar di sana. Nama “Rudolf” sendiri adalah pemberian kakaknya supaya ia bisa belajar di sekolah Belanda. Malangnya, Supratman ketahuan orang pribumi asli dan dikeluarkan dari sekolah Belanda. Namun, Supratman tetap semangat. Ia lanjut sekolah di Sekolah Rakyat hingga akhirnya menjadi guru.

Situasi di Makassar saat itu tidak baik karena masa penjajahan. Ada kabar bahwa Supratman akan dipindahkan ke wilayah pelosok dan sangat berbahaya. Kakaknya, Roekiyem, dan suaminya menyuruh Supratman kembali ke Jawa. Kehidupannya di Jawa sangat berbeda dengan di Makassar. Ia harus pontang-panting mencari kerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia pun akhirnya bekerja sebagai kuli tinta di Bandung dan Jakarta. Untuk penghasilan tambahan, Supratman berjualan buku-buku bekas. Tetapi, ia tetap semangat!

Supratman rajin mengikuti pidato-pidato Soekarno, Moh. Hatta, Husni Thamrin dan lain-lain. Ia pun berpikir apa yang bisa ia berikan untuk memerdekakan bangsa ini. Supratman sangat berbakat dalam musik. Ia menggunakan talentanya untuk memperjuangkan kemerdekaan lewat lagu-lagu yang ia ciptakan. Lagu pertama yang ia ciptakan adalah Dari Barat Sampai ke Timur atau yang kita kenal sekarang dengan Dari Sabang sampai Merauke. Liriknya menggambarkan wilayah Indonesia dari bagian barat sampai timur Indonesia. Lagu ini juga mengajak para pemuda-pemudi untuk bersatu. Setelah itu, ia juga menciptakan lagu-lagu perjuangan lain termasuk “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari”, “Bangunlah Hai Kawan”, dan “Indonesia Raya”. Lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan pertama kali saat Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Semua yang mendengar sangat terpukau.

Kehidupannya setelah banyak mencipatakan lagu menjadi tidak tenang. Ia menjadi target buruan Belanda karena usahanya untuk membakar semangat pemuda Indonesia berhasil. Wage Rudolf Supratman juga menulis buku yang berjudul “Perawan Desa”, “Darah Muda”, “Kaum Fanatik”. Isi bukunya merupakan kritik terhadap Belanda. Oleh karena itu, Belanda semakin gencar mencarinya dan melarang buku-bukunya untuk dibaca.

Ia pun sering berpindah tempat dan sakit-sakitan. Namun, ia tetap berkarya. Ia akhirnya ditangkap Belanda setelah menciptakan lagu “Matahari Terbit” –lagu ini belum pernah saya dengar sama sekali dan liriknya juga tidak saya temukan. Ia dimasukkan ke penjara Kalisosok, Surabaya. Teman-temannya banyak datang menjenguk dan memberi semangat. Namun, kondisi kesehatannya sangat memburuk. Kakak-kakaknya membawa ia pulang ke rumah di Surabaya.

“Nasibku sudah begini. Inilah yang disukai pemerintah Hindia Belanda. Biarlah aku meninggal, aku ikhlas. Aku sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Aku yakin Indonesia pasti merdeka.” Itulah pesan terakhir Supratman untuk bangsa ini.

Tepat tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka, yaitu 17 Agustus 1938, ia dipanggil Tuhan. Doanya terkabul. Indonesia merdeka. Walau ia tidak ikut merasakan dan merayakan kemerdekaan yang ia perjuangkan, ia telah berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Wage Rudolf Supratman, seorang anak band, menggunakan apa yang ia miliki untuk membuat negeri ini lebih baik. Oleh karena jasanya, ia dianugerahi pahlawan nasional oleh presiden Soeharto.

Nah, apa yang bisa kita pelajari?

Supratman tetap berjuang dalam kondisi apa pun. Ia tidak pantang menyerah. Ia memberikan apa yang ia punya untuk negeri ini.

Bandingkan dengan pemuda saat ini. Kita berada dalam situasi yang aman dan nyaman, dalam arti tidak ada peperangan. Fasilitas dan informasi mudah didapat. Tetapi, kita jarang menggunakannya dengan bijak. Lihat anak band sekarang, kelakuannya lebih banyak yang dicemooh daripada dicontoh. Lihat lirik-lirik lagu saat ini, lebih banyak memikirkan diri sendiri dengan kegalauannya, menyesatkan bahkan menghujat. Lihat isi media sosial saat ini, kebanyakan curahan hati belaka, memamerkan apa yang baru dilakukan, mengkritik tanpa solusi apalagi perbuatan serta berkomentar sok pintar dengan pengetahuan yang terbatas bahkan menghina! Generasi yang aneh, bukan?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun