[caption caption="Sumber gambar: Wikimedia Commons oleh Tropenmuseum"][/caption]“Miss, tanggal 21 April hari Kartini kan? Kita merayakan apa miss?” tanya salah seorang muridku.
“Ya, nanti miss kasih tau, ya!”
Aku dan dua guru kelas empat yang lain berembuk untuk memutuskan kegiatan yang akan kami lakukan untuk perayaan hari Kartini tahun ini. Riwayat Kartini memang masuk dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tentang pahlawan Indonesia, tapi perayaan hari Kartini bukan salah satu yang spesial di sekolah ini. Tahun lalu, kami hanya menghargai dan mengucapkan selamat satu sama lain, tampaknya tahun ini juga.
Kami memutuskan untuk membuat lomba menulis tentang hari Kartini, perjuangannya dan Kartini masa kini yang bisa mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kelas A membuat surat terima kasih atas perjuangan Kartini untuk pendidikan bagi perempuan. Kelas B membuat berita tentang riwayat Kartini dan mewawancarai beberapa guru tentang makna hari Kartini bagi mereka. Kelas C membuat tulisan opini tentang perjuangan Kartini dan Kartini masa kini. Murid-murid kami biarkan untuk mengumpulkan informasi tentang Kartini sebanyak mungkin. Dan, semua perlombaan ini ditulis dalam bahasa Inggris.
Saat mengumumkan adanya lomba sebagai peringatan hari Kartini, murid-murid sangat senang. Mereka mempersiapkan bahan tulisan dengan berselancar di dunia maya dan ada juga yang rajin ke perpustakaan.
Salah satu murid bertanya padaku, “miss, aku sudan pinjam buku Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang di perpustakaan! Tapi, aku mau bertanya miss, anak perempuan harus pakai kebaya ya setiap hari Kartini?”
“Tidak, nak.”
“Aku baca di internet kalau banyak lomba juga saat hari Kartini, khususnya lomba kebaya. Ada juga yang mengantri sejak subuh untuk berdandan seperti Kartini, miss. Harus kah kita seperti itu?”
“Hmm..kalau pakai kebaya boleh-boleh saja, nak. Lomba berbusana kebaya juga tidak apa-apa, yang penting kita jangan salah mengerti bahwa ibu Kartini itu memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, bukan kebaya untuk perempuan.”
“Iya miss, ibu Kartini itu bisa membuat anak-anak perempuan sekolah. Kalau ibu Kartini tidak berjuang bagaimana ya miss, mungkin aku masih mencuci piring atau membersihkan rumah sekarang.”
“Iya, betul sekali. Makanya kita harus bisa mencuri semangat ibu Kartini!”