Mohon tunggu...
Humaniora

Penyakit Bukanlah Alasan

19 September 2017   00:42 Diperbarui: 19 September 2017   00:45 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerita ini adalah cerita nyata yang telah dialami oleh tetangga saya, beliau adalah seseorang wanita yang tinggal dengan sederhana bersama keluarganya. Dalam usianya yang tergolong belum terlalu tua (sekitar 40-an), beliau divonis terkena penyakit  tumor ganas dalam perut. Seketika itu juga dokter menganjurkan untuk dilakukannya opersi. 

Namun, sebenarnya pihak keluarga juga ingin melakukannya, akan tetapi karena kondisi keuangan keluarga yang memang hanya pas-pasan, terpaksa mereka tidak melakukan tindakan apapun pada beliau. Yang lebih mengejutkankan juga, beliau sempat berkata "ya sudahlah, saya juga ngga mau kalau di operasi. Nanti kalo udah waktunya dipanggil pasti juga akan pulang kepadanya". Saya sempat terkejut, kenapa ibu ini memilih pasrah? Batin saya. Keesokan harinya beliaupun dibawa pulang oleh pihak keluarga.

Hingga kemarin ketika saya sempat melintas didepan rumahnya, saya lihat beliau tetap terlihat sehat dan bugar bahkan sudah 5 tahun sejak saat beliau dianjurkan operasi itu. Berita yang saya dengar dari keluarganya, bahwa beliau hanya mengonsumsi daun sirsak yang direbus dan diambil airnya untuk obat.

Di lain cerita, ketika saya sempat rawat inap di salah satu rumah sakit yang setiap kamarnya menampung 6 orang. Terdapat seorang anak perempuan yang tempat tidurnya didepan saya, badannya yang kurus kering karena makanan tak pernah tertelan olehnya, hingga akhirnya terpaksa dokter menggunakan selang saluran makan untuknya. Ibunya bercerita kepada ibu saya  mengenai awal mula sang anak mengalami hal tersebut. Dengan air mata yang terus bercucuran beliau berkata "dia ini loh buk padahal masih sakit satu bulan, tapi badannya sudah habis. Padahal sebelumnya juga berisi". 

Seketika ibu saya terkejut. Hanya dengan satu bulan, daging yang ada dalam tubuhnya habis. "Awalnya hanya sakit mag hingga kadang waktu makan itu muntah, eh.. dia milih ngga makan. saya bawa kedokter, katanya harus dirawat inap karena kehabisan cairan, siapa yang tau buu kalau keadaannya semakin memburuk karena katanya ada cairan infus yang masuk ke paru-paru... ya sampek sekarang, makaan dan bernafasnya susah". Mendengarnyapun saya tidak tega. Apa lagi ternyata ketika saya tahu bahwa dia bukan anak-anak. Dia adalah anak kuliahan yang 1 bulan kedepannya akan wisuda, karena dia semakin kurus dan tidak mempunyai sehelai rambut, saya kira dia masih anak-anak. Hati orang tua mana yang tidak nelangsa melihat anaknya dalam keadaan seperti itu?

"Benteng terkuat pada tubuh manusia adalah hati, ketika hati telah merobohkan bentengnya, maka segala sesuatu pada tubuh itu juga akan runtuh." Mungkin itu adalah bahasa yang dapat saya ungkapkan pada tulisan saya kali ini. Seseorang memang dikaruniai berbagai kondisi tubuh oleh sang pencipta, akan tetapi  berbagai kondisi tersebut hanya hatilah yang dapat mengendalikannya. Hal tersebut saya mengambil hikmah pada dua orang yang mengalami sakit tersebut.

Hal tersebut bagaikan motivasi tersendiri bagi saya untuk tetap berusaha dan berfikir positif pada diri sendiri. Ketika bebagai penyakit telah didatangkan, tetaplah positif kepada diri sendiri, yakin, dan berusaha karena mainset seseorang sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan. Bahkan para dokter menganjurkan untuk tetap berpositif pada penyakit yang diderita oleh pasiennya.

Berbeda antara positif dan meremehkan. Ketika seseorang meremehkan suatu hal, mereka akan mengabaikan dan bahkan tidak perduli dengan hal tersebut. Jika bersikap positif, seseorang itu akan yakin kepada kemampuannya dan terus mencari jalan keluar terbaik dengan usaha yang terbaik pula. Jangan sampai keliru ya.

Mungkin dengan tulisan saya kali ini dapat membantu mereka yang terkena ujian penyakit. Dapat merubah berbagai kekhawatiran yang mendalam dan sikap negative terhadap diri sendiri. Jangan lupa tetap berdo'a untuk menyeimbangkan antara keyakinan dan usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun