Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Cita-cita dan Anugrah

6 April 2017   05:14 Diperbarui: 6 April 2017   05:16 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pasti pernah bertanya pada seorang anak mengenai cita-cita mereka. Lalu apakah jawab   an dari cita-citanya itu? Yaitu semua mengenai cita-cita menjadi orang besar seperti dokter, insinyur, polisi, bahkan menjadi presiden. Lalu, karena alasan apakah mereka ingin menjadi orang-orang besar tersebut? Alasannya yaitu penggambaran dari orang tua dan pendidik. Mengapa begitu? Karena tidak sedikit orang tua yang sudah menginginkan seorang anak kelak akan menjadi apa. 

Tidak masalah, toh itu hanya keinginan. Asalkan, sesuai dengan minat dan hobby mereka, yang tidak benar yaitu  orang tua memaksa keinginannya pada cita-cita anaknya hanya karena alasan uang “Penghasilan yang tinggi akan memudahkan hidup anak tersebut dimasa mendatang” adalah “mainset matrealistis”. Mungkinkan dengan kebiasaan menghitung materi tersebut itu menjadikan zaman sekarang semakin meningkatnya matrealistis? Coba fikirkan baik-baik.

Berbicara mengenai cita-cita dan peluang masa depan, coba kita berfikir dengan realistis. Peluang yang besar adalah menjadi orang besar. Mengapa begitu? Kerana Indonesia yang menjadi negara berkembang ini tidak sedikit yang menjadi buruh. Dikatakan buruh karena layaknya seorang yang mempunyai kedudukan besar namun tidak lepas dari setiran dari negara asing. Dengan pertimbangan dalam berbagai hal orang tua akan membuat anak berimajinasi menjadi orang sukses dengan mimpi mereka.

Sebelum menanamkan imajinasi pada anak, hendaknya untuk mempertimbangkan kembali pilihan yang mempunyai peluang emas untuk masa depan. Yaitu menjadi petani, mengapa demikian? semakin berkurangnya petani dari tahun ke tahun membuat indonesia yang tanahnya subur ini telah dirubah menjadi berbagai bangunan yang tidak diketahui miliknya dan sebernya tidak lepas dari bangunan investasi luar negeri.

Jika dilihat dari segi penghasilan pun, ketika indonesia tidak menghasilkan berbagai hasil panen, lalu dari manakah sumber pangan akan dihasilkan? Ekspor bukan solusi yang mulia bagi tanah subur kita. Mengapa pekerjaan yang mulia ini dihindari oleh cita-cita anak? Mungkinkah karena pertanian adalah pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang besar? Pekerjaan manapun akan membutuhkan tenaga yang besar jika menginginkan hasil yang besar. Karena rizqi tidak akan menghindari orang yang berusaha. Atau mungkinkah dengan alasan pangkat? Jika dikarenakan hal tersebut, seseorang dapat mengangkat derajatnya dengan ilmunya buakan karena jabatan.

Banyak yang mengatakan bertani itu menyusahkan dan menunggu hasil panen yang cukup lama, itu adalah pemikiran orang yang primitif, mengapa begitu? Dengan berkembangnya ilmu pendidikan dan pengetahuan, berbagai hal telah berubah menjadi mudah. Bukan berarti kita menggampangkan segala sesuatu, akan tetapi dari segi positif dan negatif kita dapat memilah pengaruh positif yang lebih banyak untuk perubahan.

Jadi penanaman mainset pada anak untuk pekerjaan bertani bukan lah hal yang memalukan, justru jika anak itu telah berimajinasi dan menekuni hal tesebut hingga menjadi dewasa, akan banyak perubahan-peribahan yang signifikan  khususnya pada Negara indonesia ini yang telah diberi peluang cita-cita mulia dari sang pencipta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun