Aku harus bagaimana, jika terlanjur terpaut pada luka. Darah pun sudah bercucuran, sekian tahun lamanya.
Miskin itu tidak enak, Nak. Namun tetap masih lebih baik dari berjualan kata-kata. Jangan kau jilati ludahmu. Nasehat emakku dulu.
Dan miskin memang tidak enak, Mak. Seperti aku sekarang ini. Makan tak tetap dan hidup terlunta. Dibuntuti maut di mana-mana.
Tiap pagi maut menyapa. Dalam lapar dan dahaga. Dalam sakit dan derita. Dalam nasib dan air mata.
Beramah ramah disini, Mak. Bagaikan menggarami samudera. Baru aku tahu. Senyuman tak laku di tanah rantau.
Duniaku dicekam malam semua. Egoisme merasuki benda-benda. Lampu kota dibuat tinggi-tinggi. Memberi hangat pun ia tak sudi.
Hingga aku sakit parah. Benar benar sakit rasanya, Mak. Seperti tulangku dihancurkan dari dalam. Siang malam menggigil kedinginan.
Lalu aku pulang dalam dekapan rindu. Engkau manjakan aku. Seperti masa kecilku dulu. Kau tahu tanganku tak kuat lagi. Maka aku engkau suapi.
Dalam nafas terakhir anakmu, Mak. Sudah tentu pasti. Mengeluh tak punya arti.Â
Dua jam sebelum kematianku. Engkau tanyakan. Nak, apa yang kau mau?
Dua jam sebelum kematianku.
Aku ingin menangis, Mak. Dalam pelukmu.