Di suatu desa di pelosok negeri, tinggal lah seorang Nenek yang sudah tua bersama cucu satu-satunya. Nenek itu memiliki sebuah tanah sawit yang luas sekali, tanah itu satu-satunya harta kekayaan yang ia punya sehingga Nenek sangat berusaha untuk melindunginya.Â
Sedangkan beberapa kilometer dari tanah sawit itu sedang dibangun komplek pabrik suatu perusahaan besar. Proyek ini adalah proyek besar, warga desa sudah biasa melihat puluhan pekerja keluar masuk desa setiap harinya. Selama bertahun-tahun proyek besar ini berjalan, Nenek dan cucunya, Ratna, tidak diusik. Sampai suatu saat bunyi ketukan pintu yang akan mengubah hidup mereka selamanya itu terdengar.
"Sebentar, Nek. Aku yang bukain aja ya." Kata Ratna sambil mengelap tangannya yang berminyak di selembar kain lusuh. Ratna dan neneknya sedang memasak lele goreng untuk makan siang mereka, bisa menikmati makan yang cukup saja sudah merupakan suatu kemewahan di desa mereka.Â
Tanah sawit luas yang dimiliki Nenek juga membantu banyak perekonomian mereka, panjang ceritanya mengapa kini tanah sawit itu bisa ada di tangan neneknya, salah satunya adalah karena neneknya Ratna seseorang yang murah hati.
"Iya, ada apa ya?" Tanya Ratna setelah membuka pintu depan rumah reyot mereka, terlihat dua lelaki berpakaian kemeja rapih dan celana bahan menjulang di depan pintu rumahnya. Umur mereka sekitar 30-an dan mereka membawa secarik berkas di map merah plastik.Â
"Dengan rumah Bu Rachmi?" Tanya salah satu lelaki yang sedikit lebih pendek dari temannya.Â
Ratna hanya mengangguk gugup. Buat apa ada lelaki ini di depan pintu rumah neneknya? Mereka berhutang barang lima ribu rupiah saja keberatan. "Saya mau ketemu ya." Kata lelaki yang satunya lagi, Ratna bisa mencium bau rokok yang menyengat dari mulutnya.Â
"Maaf, ada urusan apa ya bertemu dengan nenek saya?" Tanya Ratna spontan.Â
"Gapapa, Mbak. Saya ada sesuatu yang perlu diomongin sama Ibu Rachmi." Si lekaki berbau mulut rokok itu menjawab lagi dengan nada setengah angkuh. Ratna dengan keberatan akhirnya mempersilakan mereka berdua untuk duduk di depan sebelum berlari menemui neneknya di belakang.
"Nek, ada yang mau ketemu di depan." Ratna menghampiri nenek nya yang sedang menyiapkan nasi untuk makan mereka malam itu. Neneknya menatap pintu depan mereka dengan heran lalu pergi ke depan untuk menemui dua orang itu. Ratna samar-samar mendengar perbincangan mereka, ia bahkan bisa mendengar nada Nenek kadang meninggi. Ketika Nenek kembali Ratna tidak bisa menahan diri untuk bertanya,Â
"Kenapa, Nek?" Nenek menghela napas, "Gapapa, katanya ada rencana proyek mau ambil tanah sawit Nenek. Nenek menolak kok." Nenek menjawab singkat lalu duduk dan mulai menyendok nasi.
Ratna tidak tenang, karena ia tau orang-orang itu bukanlah orang biasa. Kekhawatiran Ratna pun terjawab.
Di pagi hari itu tiba-tiba rumahnya digedor hebat. Ratna segera menghampiri Nenek yang juga sudah terbangun.Â
"Buka! Kalau tidak dibuka pintu ini akan saya terobos!" Terdengar suara teriakan dari luar, suara lelaki yang tempo hari ke rumah mereka itu. Nenek dan Ratna segera membukakan pintu dan mendapati dua lelaki bersama belasan laki-laki muda yang terlihat seperti bawahan mereka tengah mengerubungi rumah Nenek.
"Rumah Ibu saya sita dan mulai siang ini Ibu dan cucu Ibu sudah harus pindah dari rumah ini." Perintah salah satu lelaki itu.Â
Ratna cepat memotong, "Loh anda ada hak apa? Ini rumah Nenek saya." Ratna menjawab marah.Â
"Diam kamu anak kecil!" Lelaki yang agak gempal menghardik Ratna balik, suasana berubah menjadi tidak kondusif. Ketika keadaan sudah agak mengarah menuju kekerasan fisik yang bisa mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan Nenek segera angkat bicara.Â
"Saya mengalah. Saya dan cucu saya akan pindah segera." Ratna ingin protes namun ditahan Neneknya. Mereka berdua pun segera mengemasi barang-barang penting mereka dan pindah.
Keadaan berubah 180 derajat pada hari itu, bahkan Ratna sendiri tidak sempat berpikir.
Malam itu mereka tidur di desa terdekat, ternyata ada beberapa keluarga lain yang bernasib sama dengan mereka. Masalah terbesarnya adalah Nenek menolak menjual tanah sawit itu walau sudah ditawari harga tinggi sehingga memancing mereka untuk menggusur Nenek dari rumahnya. Mereka berdua hanyalah warga kecil melawan proyek yang disuntik dana miliaran rupiah.
Untungnya, karena kemurahan hati Nenek banyak warga yang dengan senang hati menolong mereka. Walau Nenek sudah menolak melewati jalur hokum karena tahu akan kalah tapi setelah didorong oleh Ratna dan warga lainnya akhirnya Nenek setuju untuk maju ke pengadilan.
Benar saja, jalan itu tidak mulus. Tapi, orang-orang dari proyek itu juga besar kepala. Mereka menyogok sana-sini agar bisa menang di pengadilan. Namun tetap saja, keputusan terakhir ada di hakim.
Keputusan pun diambil, "Saya menjatuhkan denda kepada Bu Rachmi..." Hakim angkat bicara. Senyuman tersungging di bibir kedua lelaki yang menyerang rumah Nenek kemarin-kemarin, tapi Hakim belum selesai. "Dan juga kepada semua saksi yang hadir karena telah melihat apa yang menimpa Bu Rachmi dan puluhan rakyat kecil lainnya tanpa mengambil tindakan apa-apa. Tidak semuanya bisa dibayar dengan uang. Suatu saat uang akan habis." Lanjut Hakim.
Seluruh isi ruang sidang heboh, termasuk kedua lelaki itu yang kini tampak panik. Ratna tersenyum dari tempat duduknya. Ia percaya, keadilan ada di tangan mereka yang baik hati.
Pada akhirnya denda Nenek dibayarkan oleh Hakim dan denda yang harus dibayarkan oleh saksi diberikan kepada Nenek. Tidak lama, proyek besar itu dibatalkan karena terbukti melakukan berbagai macam pelanggaran dan korupsi.
Nenek dan Ratna kembali ke rumah mereka. Desa mereka aman. Itu semua karena keadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI