Mohon tunggu...
Muhammad Rizki
Muhammad Rizki Mohon Tunggu... -

Entrepreneur based on Muamalah

Selanjutnya

Tutup

Money

Kajian Muamalah

30 November 2012   19:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:24 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Muhammad Rizki, Medan 1434 H

Bismillah Arrahman Arrahim

Di edisi ini kita akan mencoba membahas tentang beberapa sunnah jual-beli yang sudah berumur 1400 tahun lebih yang telah diabadikan oleh Imam Malik Ibn Anas dalam Al Muwattha’, di Kitab Jual-Beli, di beberapa bab yang sangat umum kita praktikkan. Sehingga kita bisa menilai bahwa sunah jual-beli ini sama sekali tidak kuno dan sangat relevan dengan perdagangan kita sehari-hari di era modern ini. Kita mulai dengan bab berikut:

Bab 37. Jual-Beli Barang dalam Katalog

Malik berkata, “Pendapat kami tentang kelompok orang yang membeli barang (seperti kain atau budak) kemudian didengar oleh seseorang yang kemudian berkata kepada seseorang dan kelompok tersebut, ‘Kain yang telah kamu beli dari si Fulan itu telah kuketahui sifat dan kondisinya. Maukah kamu, kuberi keuntungan dengan bagianmu segini?’ Lelaki itu menjawab, ‘Ya.’ Lantas, lelaki kedua memberi keuntungan dan menjadi rekanan kerja bagi kelompok tersebut, namun ketika ia mendapati barangnya buruk, iapun menyesal dan merasa telah membelinya terlalu mahal, kami menilai bahwa si pembeli harus menerima. Dan tidak ada pilihan dalam masalah ini andai barang tersebut dibeli dari katalog (daftar barang) dan dengan rinci sifatnya.”

Sedangkan orang yang datang membawa beberapa jenis kain beserta beberapa penawar, kemudian ia membacakan barang yang ada dalam katalog kepada mereka serta mengatakan bahwa dalam setiap kemasan atau bungkus terdapat beberapa selimut Bashrah dan beberapa pakaian luar (sejenis mantel), dengan panjang yang juga disebutkan. Ia juga menyebutkan jenis-jenis barang tersebut kepada mereka lalu berujar, “Belilah barang dengan sifat seperti itu dariku.” Lalu orang-orang pun membeli beberapa kemasan barang tersebut, namun ketika dibuka mereka merasa telah membelinya terlalu mahal dan menyesal, menurut Malik, “Itu merupakan konsekuensi bagi mereka jika barang yang ada sesuai dengan katalog yang ditawarkan kepada mereka. Disamping itu, ini merupakan masalah yang masih berlaku dalam masyarakat kami yang membolehkan Jual-Beli tersebut antar sesama jika barang sesuai dengan katalog.”[1]

Bab 45. Penawaran dan Perjanjian Jual-Beli

No. 1379

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah Ibn Umar, bahwa Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam bersabda, Janganlah di antara kalian menjual (barang) yang sedang ditawar oleh orang lain.”

No. 1380

Malik meriwayatkan kepadaku dari Abu Az-Zinad, dari Al ‘A raj, dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam bersabda:

1.Janganlah kalian menjumpai orang yang berkendaraan untuk melakukan Jual-Beli; (memotong Jual-Beli ditengah jalan).

2.Janganlah di antara kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain.

3.Janganlah kalian bersaing dalam penawaran barang (lelang).

4.Janganlah menjual barang yang ada dengan barang yang tidak ada.

5.Dan janganlah kalian mengikat (puting susu) onta dan kambing (ketika hendak menjualnya), barangsiapa membelinya setelah itu, maka ia mempunyai dua pilihan terbaik setelah susunya diperas: jika mau ia boleh menahannya, dan jika tidak suka, ia boleh mengembalikannya dengan memberi tambahan segantang kurma (ganti-rugi setelah susunya diperas).”[2]

Malik mengungkapkan, “Menurut pendapat kami, sabda Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam, ...Janganlah di antara kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain.” maksudnya Rasulullah melarang seseorang untuk menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain jika penjual telah merasa yakin dengan pembeli. Atau penjual telah mensyaratkan takaran emas (sebagai bayaran), dan penjual telah mendeklarasikan bahwa ia tidak bertanggungjawab terhadap cacat yang terdapat pada barang dan sejenisnya, saat diketahui penjual telah hendak bersepakat dengan pembeli. Inilah yang dilarang oleh Nabi sallallahu ‘Alayhi wa sallam –wallahu a’lam–.”

Menurut Malik, “Seseorang boleh melakukan penawaran terhadap barang Jual-Beli yang dipajang kemudian datang pihak lain menawamya. Seandainya orang itu meninggalkan penawaran ketika pihak pertama sedang menawar, lalu barang tersebut terjual dengan harga yang tidak jelas, maka perbuatan itu makruh. Seperti inilah masalah tersebut menurut pendapat kami.”

No. 1381

Malik berkata dari Nafi’, dari Abdullah Ibn Umar, bahwa Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam melarang najasy.”

Malik berkata, “Najasy adalah seperti ketika Anda menawar ke penjual dengan harga yang lebih tinggi sedangkan Anda sendiri tidak berminat membelinya, sehingga penjual lain pun terdorong untuk mengikuti Anda dalam meninggikan harga.[3]

Bab 46. Jual-Beli Umum

No. 1382

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abdullah Ibn Dinar, dari Abdullah Ibn Umar, bahwa salah seorang sahabat pernah menyampaikan kepada Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam bahwa ia telah ditipu dalam Jual-Beli. Kemudian Rasulullah sallallahu ‘Alayhi wa sallam bersabda, Jika kamu melakukan transaksi Jual-Beli. maka katakanlah, ‘Jangan ada penipuan’.

Perawi (Abdullah Ibn Umar) berkata, “Setelah itu, ketika sahabat tersebut melakukan Jual-Beli, maka ia pun mengatakan, Jangan ada penipuan’.”

No. 1383

Malik meriwayatkan kepadaku dari Yahya Ibn Sa’id, bahwa ia telah mendengar Sa’id Ibn Al Musayyab, ia berkata:

1.Jika kamu mendatangi sebuah tempat yang penduduknya memenuhi takaran dan timbangan, maka menetap lamalah di sana.

2.Dan jika kamu datang ke sebuah tempat yang penduduknya (suka) mengurangi takaran dan timbangan, maka cepat tinggalkan tempat itu.”

No. 1384

Malik meriwayatkan kepadaku dari Yahya Ibn Sa’id, bahwa ia telah mendengar Muhammad Ibn Al Munkadir berkata, “Allah mencintai seorang hamba yang;

1.bermurah hati ketika menjual

2.bermurah bati ketika membeli

3.bermurah hati ketika melaksanakan kewajiban

4.dan bermurah hati ketika menuntut hak (hutang).”

Malik mengungkapkan, “Orang yang membeli onta, kambing, pakaian, budak atau barang lain tanpa melalui proses penakaran, ‘tidak ada pembelian tanpa penakaran secara tepat untuk segala hal yang dapat dihitung.’

Tentang orang yang membelikan orang lain barang untuk dijual, dan sebelumnya ia telah menentukan nilai barang tersebut lalu berkata, ‘Jika kamu menjual barang ini dengan harga yang telah aku tetapkan, maka kamu akan mendapat satu dinar,’ atau upah lainnya yang disepakati kedua belah pihak, namun jika ia tidak dapat menjualnya, maka ia pun tidak akan mendapat bagian apapun. maka transaksi ini boleh untuk dilakukan.

Seperti ketika seseorang berkata kepada pihak lain, ‘Jika kamu bisa menemukan anakku yang melarikan diri, atau dapat membawa pulang ontaku yang hilang, maka kamu akan mendapatkan upah sekian.’ Transaksi seperti ini dikategorikan sebagai alju’ul (hadiah atau persenan), dan bukan termasuk bagian ijarah (penyewaan). Jika transaksi ini dikategorikan pembahasan ijarah, tentu transaksi tersebut tidak sah.

Adapun jika seorang lelaki diberikan barang, lalu pemilik barang berkata kepadanya, ‘Juallah barang ini dengan harga sekian dan kamu akan kuberi upah sekian, untuk setiap dinar barang yang disebutkan,maka transaksi tersebut tidak diperbolehkan. Karena, jika sampai ada sebuah dinar dari harga barang tersebut berkurang atau menyusut, hak yang diperolehnya itu pun turut berkurang. Hal seperti ini tentunya termasuk tindak penipuan, karena pihak yang diserahkan barang tidak mengetahui secara pasti jumlah uang atau upah yang diberikan kepadanya.”

No. 1385

Malik meriwayatkan kepadaku dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang menyewa Binatang tunggangan, kemudian ia menyewakan kembali Binatang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ia sewa, Ibnu Syihab menjawab, “Itu boleh dilakukan.”

Sampai disini dulu pembahasan kita, dan kami menilai proses yang terjadi dari sunah-sunah di atas sama sekali tidak kuno dan masih sangat sering terjadi di zaman sekarang.

[1] Maksudnya ialah agar setiap orang teliti dahulu sebelum membeli barang yang akan dibelinya jika hanya dengan melihat catalog. Mereka bisa bertanya lebih detil lagi mengenai barang yang akan dibeli. Agar tidak ada yang merasa tertipu dan menimbulkan fitnah. Karena jika transaksi sudah terjadi, dan syarat halalnya juga sudah terpenuhi, maka barang tidak bisa dikembalikan, kecuali barang yang telah dibeli tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada di katalog dan janji si penjual.

[2] La talaqqau: janganlah kalian menjumpai. Wala tusharrul ibila: Berasal dari kata tashriyah yang berarti mengikat. Maksudnya, janganlah kalian mengikat susu yang berada dalam puting hewan ketika hendak menjualnya agar terlihat banyak hingga pembeli menyangka bahwa hewan tersebut memiliki air susu yang banyak dan tidak pernah habis. Asy-Syafi’i berpendapat, “Tashriyah adalah mengikat puting susu onta atau kambing dan tidak memerasnya selama satu atau dua hari, agar pembeli menaikkan harganya kerena banyaknya air susu yang dilihatnya pada onta atau kembing tersebut.”

[3] Efeknya adalah, barang milik mereka bisa tidak laku karena calon pembeli enggan membelinya akibat barang terlalu mahal sedangkan di tempat lain calon pembeli merasa bisa mendapatkan barang yang sejenis dan seukuran dengan harga yang lebih murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun