Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Papua, ”Nguliahin” Anak ke Jawa Cukup Jual Dua Ekor Babi

5 Mei 2016   08:14 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 6021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Binatang Berharga: Babi selain bahan konsumsi juga sebagai mas kawin, menjadikan binatang ini barang yang mahal di Papua. (foto: Asep Burhanudin)

Di Papua, binatang babi bernilai tinggi, bahkan bisa jadi melebihi segalanya, kecuali nyawa mereka sendiri. Bayangkan, untuk satu ekor babi besar dewasa harga jual tidak kurang dari Rp50 juta per ekornya. Tak heran untuk sekedar menguliahkan anaknya hingga sarjana di Jawa (sebutan mereka untuk dearah di P Jawa), cukup menjual dua ekor babi dewasa saja.

Awalnya seperti Anda, saya tak percaya, kok babi harganya bisa selangit. Apa susahnya pelihara babi sebanyak mungkin, toh kembang biak babi jauh lebih cepat dari binatang ternak lain, seperti domba atau sapi? Sekali melahirkan babi bisa 4 sampai 6 ekor.

dsc-0410-572a9b088623bd9d0a44eb64.jpg
dsc-0410-572a9b088623bd9d0a44eb64.jpg

Ritual Bakar babi: Dalam tumpukan rumput ini terdapat puluhan ekor babi yang siap dibakar, seperti pada upacara perdamaian antarsuku. (Foto: Asep Burhanudin)

Jawabannya tidak semudah itu. Babi di Papua sudah merupakan barang istimewa. Wanita di sana sampai rela membagi ASI, selain untuk anak kandungnya, juga buat anak babi. Tak heran bila kita berkunjung ke pedalaman kerap memergoki seorang ibu tengah menyusui anak babi dalam dekapannya. Babi selain dijadikan alat maskawin mempelai pria, juga sebagai alat penebus kekalahan perang suku. Masyarakat di sana, umumnya hanya mengenal binatang piaraan jenis ini dibanding binatang lainnya, seperti domba atau sapi. Selama di Papua, saya belum pernah melihat domba atau sapi berkeliaran. Bahkan suara kokok ayam di pagi hari pun nyaris tak terdengar.

babi2-572a9c21c0afbde9043c7310.jpg
babi2-572a9c21c0afbde9043c7310.jpg

Generasi Penerus Papua: Di mata mereka, sekolah masih barang yang langka. Perlu pengorbanan untuk bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi (koleksi pribadi)

Berharganya nilai babi menjadikan para sopir, yang kebanyakan perantauan asal Sulawesi, selalu berhati-hati bila di lintasan jalannya memergoki babi berkeliaran. Mereka takut menabrak. Dendanya sangat tinggi bisa puluhan juta. Terlebih yang ditabraknya babi betina. Untuk mengukur besaran denda menabrak babi betina dihitung dari jumlah puting susunya. Satu puting susu babi betina sekitar Rp3 juta. Bisa dibayangkan, berapa denda bila puting babi tadi berjumlah 10 titik. Para sopir kerap berkelakar, mendingan menabrak nenek-nenek putingnya cuman dua. Sang sopir tak bisa lari ketika berhadapan dengan denda. Masalahnya, si pemilik babi rela tidur berhari-hari di teras kontrakan sang sopir si penabrak sebelum dendanya di tangan mereka. Bila sang sopir kabur, pulang kampung ke daerah asalnya, giliran si pemilik mobil jadi sasaran tagih. Jadi, tak ada pilihan, sopir di sana harus rela berhenti memberikan kesempatan babi minggir.

dsc-6490-572a9cc16c7e6171056ae464.jpg
dsc-6490-572a9cc16c7e6171056ae464.jpg

Terisolir: Infrastruktur yang belum memadai seluruhnya menjadikan beberapa kawasan Papua masih sulit dijangkau dan terisolir dari luar. (foto:Asep Burhanudin)

Kembali ke judul di atas, kalau memang biaya kuliah hanya cukup menjual dua ekor babi, mengapa angka mahasiswa asal Papua di Jawa masih relatif minim? Di sinilah rumitnya Papua. Uang tidak ada nilainya bukan berarti mereka kaya-raya. Uang tak berharga disebabkan letak geografis yang kurang didukung sarana dan prasarana yang ada. Infrastruktur yang masih jauh memadai, sangat menyulitkan kawasan ini dijangkau dalam segala hal. Hanya harga rokok yang relatif sama dengan di Jawa. Selebihnya, seperti harga beras, minyak bensin dan kebutuhan lainnya bisa enam kali lipat dengan harga di kita. Harga semen bahkan bisa mencapai Rp.1,5 juta per zaknya. Semakin berat barang semakin tinggi harganya. Dimaklumi, barang yang didatangkan ke Papua semuanya menggunakan pesawat udara, yang notabene hitungan ongkosnya berdasarkan timbangan.

dsc-5750-572a9d3072937322050d52dd.jpg
dsc-5750-572a9d3072937322050d52dd.jpg

Beruntung: Untuk bisa mengenakan seragam sekolah seperti ini perlu perjuangan, hanya mereka yang beruntung bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Foto Asep Burhanudin)

Pembangunan yang belum sepenuhnya merata, menjadikan sekolah adalah hal yang musykil mereka lakukan. Untuk menyekolahkan anaknya ke bangku SD saja, di sana perlu perjuangan khusus. Warga Distrik Kanggime di Tolikara misalnya,  anak-anak harus rela berjalan kaki berjam-jam. Sementara untuk duduk di bangku SMP, mereka bisa seharian di jalanan. Mereka berangkat pukul 04.00 dan kembali ke rumah sudah gelap lagi. Lebih berat lagi bila sudah masuk SMA, mereka mau tak mau harus nebeng di honai penduduk Karubaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun