(Menyusuri Pedalaman Papua 3)
Ada pemeo, di Jakarta, untuk menyelesaikan satu dua urusan dalam sehari sudah tergolong hebat. Ini menggambarkan  kondisi lalu-lintas di sana yang membuat kita ‘tua’ di jalan. Di Pegunungan Tengah, Papua, dengan kondisi lalu- lintas tak ada kemacetan, malahan lebih dari itu. Waktu kunjungan bisa seminggu, bahkan bisa nihil bila berurusan dengan aparatur. Kemana dan dimana mereka selama ini berada? Jawabannya, tunggu saja tanggal gajian di kantornya, mereka pasti datang  men-charter pesawat untuk mengambil gaji. Sungguh hebat dan royal memang.
Kalau tak salah, setiap calon PNS biasanya selalu menandatangani lembaran khusus, semacam fakta integritas lah. Intinya, bila diangkat siap ditempatkan di manapun di peloksok Indonesia, tentunya termasuk di Papua. Rupanya bagi oknum PNS yang ‘mengabdi’ di pedalaman Papua, janji tinggal- janji, tanpa pengawasan dan kondisi Papua yang jauh dari harapan menjadikan kinerja mereka asal-asalan.
Tak sedikit mereka yang tak kuat pulang tanpa pamit, atau minta mutasi. Kalaupun bertahan, kinerjanya asal-asalan, mereka ngantor ketika mau tanggal gajian. Namun, tak sedikit pula di antara mereka banyak PNS tanpa pamrih kerja tulus di sana.
Kemana sebetulnya mereka berada selama hari kerja? Para PNS, entah golongan atau esselon berapa, yang mengabdi di beberapa kabupaten Pegunungan Tengah Papua, lebih memilih Kota Wamena, Ibu Kota  Kab. Jayawijaya  dibanding tempat daerah mereka mengabdi. Padahal, jarak Wamena dengan Kota Kabupaten terdekat saja bisa tiga atau empat jam perjalanan darat. Suatu hal yang tak mungkin mereka lakukan bila tiap hari harus bolak- balik.
Mengapa kebanyakan PNS di sana memilih Wamena sebagai tempat tinggal permanen bagi keluarga dan dirinya? Alasannya sangat sederhana. Di Wamena, selain satu-satunya kota besar terdekat, terdapat sekolah memadai buat anak-anaknya. Bagi mereka yang sudah memiliki keluarga, tentunya Wamena pilihan utamanya.
Oknum PNS ini lebih memperhatikan masa depan keluarga sendiri dibanding masa depan Papua. Caranya, ya itu tadi, berangkat Senin pulang akhir pekan. Bunga-bunga korupsi waktu seperti ini lambat laun tumbuh subur. Capek di jalan atau tak ada transportasi, Pada akhirnya, para oknum PNS di sana, kalaupun harus ke daerah kerjanya, ya sebatas untuk mengambil gaji bulanan. Sikap kucing-kucingan berjenjang, mulai dari staf biasa hingga setara kepala dinas.
Terkesan mewah, hanya untuk mengambil gaji mereka bisa sanggup menyewa pesawat. Dengan kewenangan yang miliki, mereka dengan mudahnya mendapatkan tiket pesawat. Padahal sejujurnya, kalau bukan mereka, sungguh sulit untuk memperoleh tiket pesawat. Kalaupun ada, harganya selangit, bisa tiga kali lipat dari harga normal.
Tiket pesawat Wamena-Karubaga, yang harga resminya (2 taun ke belakang) Rp.300.000 di pasaran bisa Rp. 1.5 juta. Ke kota Ilaga, Puncak Jaya, juga harganya tak jauh beda. Namun setelah di tangan sang calo bisa lima kali lipat. Itu pun kalau masih ada tiketnya.
Ketika saya ke Papua, terpaksa tertahan berjam-jam, atau bahkan seharian di Kota Wamena atau Jayapura, hanya tiket pesawat yang saya pesan habis terjual. Bahkan, ketika sudah boarding pass pun kita kerap gigit jari karena pesawatnya masih dipakai pejabat daerah. Padahal, jadwal keberangktan pesawat sangat tergantung cuaca. Tak heran bila satu dua keberangkatan ter-cancel oleh mereka, resikonya, jadual kita pun pasti berubah total.
Apakah, para bupati atau gubernurnya tahu kinerja bawahannya seperti itu. Bisa saja tahu atau pura-pura tak tahu. Saya pernah mendengar Bupati Tolikara sempat membuat jeratan untuk menjaring oknum nakal ini. Usman Wanimbo, nama sang bupati tadi, menurut salah satu stafnya, pada salah satu hari jumat, berpesan pada seluruh Kadis bahwa dirinya akan ke Jakarta. Padahal ia tidak kemana mana. Tak seorangpun diberi tahu, termasuk ajudannya. Sehingga ketika besoknya ia ngantor seperti biasa, Â di situlah sang bupati mengetahui kinerja PNS nakal.