Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berbekal Garam dan Lilin Akhirnya Mereka Bisa Mendarat di Papua

12 Mei 2016   08:07 Diperbarui: 12 Mei 2016   18:59 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Karubaga: Kota Karubaga, Tolikara dari ketinggian. Landasan pacu ini posisinya sudah bergeser dari landasan pacu pertama yang dibuat misionaris 1920 silam yang terletak di paling kiri yang kini dijadikan kawasan perdagangan (asepburhanudin)

Berbekal Garam dan Lilin Akhirnya Mereka  Bisa Mendarat di Papua

Berkembangnya kawasan Pegunungan Tengah Papua tidak terlepas dari  para misionaris kebangsaan Kanada dan Belanda, yang pertama kali berhasil mendaratkan pesawat kecilnya di sebuah lahan belantara Karubaga, tahun 1920-an lalu. Dari Karubaga mereka kemudian menyebar ke beberapa kabupaten sekitarnya.

Banyak rintangan dan penolakan warga lokal ketika itu. Namun berkat garam dan lilin yang dilemparkan dari pesawat, warga lokal akhirnya  menerima, bahkan kemudian mereka turut membantu membuat landasan.

“Masyarakat baru sadar, dengan lilin yang mereka pungut bisa menerangi honai yang dulunya selalu gelap gulita. Begitupun serbuk putih  (baca; garam) bisa menambah rasa ubi dan daging babi yang mereka bakar,” kata Dave Martin, mantan misionaris kebangsaan Kanada.

Dave Martin (asepburhanudin)
Dave Martin (asepburhanudin)
"Ini sebetulnya kisah  Paul Geswien dengan Bill  Wedien yang pertama kali meginjak Tolikara. Saya datang ke sini dua tahun kemudian, setelah mereka di sini, “ kata Dave menambahkan.

Dengan pendekatan itulah beberapa misionaris akhirnya bisa mendaratkan pesawat ringannya di Pegunungan Tengah Papua tahun. Bukan hal yang mudah menyentuh tanah Papua Pegunungan, terlebih bisa komunikasi dengaan warganya. Tak sedikit, misionaris patah arang dan kembali pulang ke negara asalnya. Atau meninggal akibat kesalahpahaman dengan warga setempat.

Kisah ini dituturkan Dave Martin tiga tahun silam ketika saya pertama kali menginjak Tolikara. Kebetulan saat itu, pria bule tengah berada di sana untuk menghadiri perayaan bakar babi sebagai lambang bersatunya kembali  setelah kerusuhan antarsuku dalam Pilkada Tolikara pertama. Nama Dave Marten,  tidak bisa dipisahkan dari sejarah bumi Tolikara.

Pria yang hampir seluruh usianya mengabdi dalam menyebaran kristen,  menjadikan nama Dave Martin seolah menyatu dengan masyarakat Tolikara. Sekalipun sudah belasan tahun mengakhiri masa tugasnya,  ia minimal setiap  setahun sekali selalu menyempatkan  singgah satu atau dua bulan dan berbaur dengan masyarakat Tolikara, Papua.

Dave martin bersama istrinya (asepburhanudin)
Dave martin bersama istrinya (asepburhanudin)
Wajah keriput dengan seluruh rambut memutih menandakan pria kelahiran Kanada ini sudah memasuki usia senja. Itulah sosok Dave Marten, pria kelahiran 80 tahun silam, mantan misionaris . Ia  baru sepekan  berada di Karubaga, Ibukota Tolikara bersama istri setianya, Ny Dave Martin. Selama di Tolikara mereka mendiami rumah khusus, miliknya nan asri yang berlokasi  tepat di ujung landasan.

“Hidup saya tidak bisa dipisahkan dengan Tolikara, sekalipun sudah belasan tahun pensiun dan beberapa kali dipindahtugaskan  ke negara lain, seperti Singapura dan Fhilipina, saya tetap orang Tolikara,” kata Dave Marten,bersemangat.

Menurutnya, ia mengenal Tolikara sejak tahun 1950-an, ketika dirinya masih berusia 22 tahunan. Jatuhnya pesawat Belanda pada Perang Dunia ke-II di Lembah Baliem  ketika itu, telah membukakan mata dunia bahwa masih ada daerah yang belum tersentuh  dunia luar, terutama agama, yakni Papua ini. Pemberitaan media inilah yang mendorong Dave, setamat sekolah mendaftar ke MAA, sebuah organisasai misionaris di Amerika  untuk bergabung dan kemudian mengabdi di daratan  Papua, tepatnya di Tolikara.

Rumah Dave Martin: Bila kita berkunjung ke Kota Karubaga, Tolikara, akan menjumpai rumah Dave Martin yang mencolok asri di ujung landasan. (asepburhanudin)
Rumah Dave Martin: Bila kita berkunjung ke Kota Karubaga, Tolikara, akan menjumpai rumah Dave Martin yang mencolok asri di ujung landasan. (asepburhanudin)
“Waktu itu Papua masih merupakan jajahan Belanda, bahkan , dengan alasan keamanan, kami sempat dipersulit untuk memasuki Papua.  Belanda menakut-nakuti kami, kami sampai tiga kali bolak balik ke Belanda untuk mendapatkan izin masuk,” kata Dave mengenang awal perjuangannya . Kecintaan Dave pada bumi Papua, juga diikuti  keempat dari lima anaknya. Mereka, sekarang mengikuti jejak ayahnya, mencurahkan sebagian hidupnya untuk kemajuan Papua. “Padahal saya tidak memaksa, itu panggilan jiwa mereka saja karena mungkin mereka lahir di Papua,” katanya lagi.

Perang Suku

Dave menginjakkan kaki ke tanah Papua 4 Pebruari 1959 melalui Bandara Sentani. Sepekan kemudian Dave bersama temannya menuju Karubaga. Diakui Dave, ia sebetulnya bukan orang  asing pertama yang menginjakan kaki di Karubaga. Dua tahun sebelumnya, dari organisasi yang sama, yakni Paul Geswien dengan Bill Wedien yang pertama kali meginjak Tolikara. Mereka bahkan sempat membuat landasan pacu di Karubaga.  Bakan, menurut Dave, bila membaca sejarahnya, 36 tahun sebelumnya pun, beberapa perintis kebangsaan Belanda yang tergabung dalam Kremer Ekspedition, juga sempat menginjakkan kaki di Tolikara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun