Menimbang: Seorang pilot bule tengah menimbang muatan yang akan diangkut ke pesawatnya di Bandara Tolikara, Papua (asep burhanudin)
Sampai saat ini pilot masih profesi bergengsi. Penghasilan yang konon bisa mencapai  angka Rp 50 juta/bulannya, sangat sesuai dengan resiko serta biaya sekolahnya yang lumayan mahal juga. Namun, bila Anda melihat bagaimana sang pilot di Papua Pegunungan Tengah bekerja, antara lain nimbang muatan sendiri, nyuci pesawat sendiri, Anda pasti ciut juga.
Bila mau jujur, ketika masih kecil dan ditanya cita-cita mau jadi apa, sebagian besar menjawab, ingin menjadi pilot, atau dokter. Ini menggambarkan profesi pilot profesi idaman. Namun, ketika sudah besar, setamat SMA, cita-cita perlahan berubah. Ini tak lain syarat  menjadi pilot memerlukan biaya besar, di atas Rp 600 juta. STPI Curug, Sekolah Tinggi Penerbang Indonesia yang notabene milik pemerintah, misalnya, sejak tahun 2015 lalu harus bayar, padahal dulunya gratis. Sekarang, hmm, bayarannya di kisaran Rp 600 jutaan. Hanya orang tua yang mampulah pada akhirnya yang bisa menyekolahkan anaknya jadi pilot.
Memang, ada beberapa jalur yang menjadikan pilot terasa murah, tapi Anda harus diterima dulu menjadi taruna di Akmil Angkatan Udara, atau Penerbad di Angkatan Darat. Hanya saja untuk masuk sekolah di sini sangat berat, selain dituntut IQ tinggi, juga kesehatan dan kesamaptaan jasmaninya harus benar benar terjaga. Maklum banyak saingan.
Biaya sekolah memang sebanding dengan penghasilannya. Sekalipun nantinya menjadi pilot pesawat berbadan kecil, gaji mereka tetap  gede. Konon untuk menjadi pilot pesawat milik Susi Air yang beroperasi di Papua misalnya, gaji mereka tak kurang dari Rp 50 juta/bulannya. Suatu pendapatan di atas rata-rata. Dari situ saja sudah ngiler mendengarnya.
Namun, ketika suatu waktu saya ikut bersamanya, hati kita jadi ciut. Kondisi geografis di Pegunungan Papua yang berbukit bukit, menuntut kepiawaian sang pilot tentunya. Mata mereka harus seperti elang. Terkadang, di mata saya seolah tak ada rintangan apa apa, tapi tiba-tiba bukit sudah menutupi seluruh pemandangan. Dengan manuver kilat, pilot membantingkan kemudi menuju lorong di antara dua bukit. Tak jarang pesawat berada di bawah bukit. Ini ditandai ketika saya ingin melihat puncak bukit terpaksa harus mendongak ke atas. Belum habis melewati lorong dua bukit, sang pilot harus sudah persiapan  pendaratan. Padahal, kita yang duduk di sampingnya, belum tahu mana ujung landasannya. Eh ternyata, tubuh kita sudah  terguncang keras menandakan pesawat sudah mendarat.
Jangan dibayangkan landasannya beraspal, terlebih rata. Hanya rerumputan atau kerikil batu menutupi landasan yang aspalnya sudah mulai terkelupas. Tak hanya itu, sekalipun lokasinya terkadang dipagar, beberapa warga lokal masih bisa menerobos. Bahkan, di beberapa airstrip, dibuatkan jembatan dengan pagar sudah dilubangi seukuran tubuh manusia . Begitu mendarat, pilot harus segera menginjak rem, salah -salah bisa terjun ke parit, atau bahkan menabrak tebing, Maklum panjang landasan tak jauh beda dengan ukuran lapangan bola.
Dag dig dug, itu pasti. Tapi sang pilot terlihat tenang. Setelah mematikan mesin, ia sigap loncat duluan. Maksudnya membukakan pintu pesawat supaya kita bisa keluar. Tak hanya itu, ia pun mengambil tongkat yang disimpan di lantai pesawat. Tongkat sepanjang 2 meteran seukuran tangan dia pasangkan di ekor pesawat, yang belakangan diketahui untuk menjaga keseimbangan.