Papua Sungguh Eksotis
Jarum jam baru mengarah angka 7, pertanda watu masih pagi. Namun sorot mentari terasa menyengat dan memaksaku membuka jaket yang semalaman tak pernah lepas dari tubuh selama dalam pesawat.Waktu itu saya dan belasan rekan baru mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, selepas penerbangan dari Jakarta. Letih, lelah seketika hilang manakala kaki mulai menapaki lapangan aspal menuju koridor tempat pengambilan bagasi.
Dalam kunjungan pertama kali ini, tujuan akkhir kami antara lain Kota Karubaga, Ibu Kota Tolikara.  Untuk bisa ke kota tujuan, sudah ada jalur darat, sekalipun belm seluruhnya mulus beraspal. Sementara dengan jalur udara, masih menggunaka pesawat berbadan kecil karena panjang  landasan masih dibawah 1000.m.
Banyak persiapan untuk  perjalanan ini, mulai sepekan sebelum berangkat kita diharuskan minum pil kina untuk mencegah malaria, juga pakaian/ jaket tebal, hingga makanan, termasuk obat-obatan pribadi. Kalau dihitung, mungkin perorangnya rata rata membawa dua atau tiga kerier berukuran rata- rata 30 L. Maklum, rencana satu bulan kita berada di Karuaga.Tak hanya itu, katanya, di sana untuk mendapatkan barang keperluan sangat sulit. Kalaupun ada harganya relatif mahal. Barang bawaan inilah yang kemudian kita harus berlama- lama di ruangan pengambilan bagasi Bandara Sentani.
Tak terasa, jadwaal penerbangan selanjutnya hanya tinggal hitungan belasan menit. Â Bila dipotong waktu sarapan pagi pun tak ada waktu lagi untuk berleha-leha, sehingga kami pun memutuskan sarapan di lingkungan Bandara. Makanana di Jayapura relatif murah, tak ubahnya dengan harga di kota besar lainnya di Indonesia. Makanan favorit di kota ini berupa ikan nila, sejenis ikan darat yang berlimpah di Danau Sentani.
.
Jaya Pura, Ibu Kota Propinsi Papua sangat panas dibanding kota lainnya di Papua, mungkin sekalipun dengan Jakarta. Maklum selain terletak di pinggir laut, juga Danau Sentani yang nyaris mengurung sebagian kota Jayapura, yang memantulkan efek panas sinar matahari. Jayapura yang mengandung arti kota kemenangan, didirikan  oleh seorang tentara Belanda, Kapten Infanteri F.J.P Sachses, 7 Maret 1910 silam, dengan  nama Hollandia. Kota ini kala itu sebagai ibu kota salah satu distrik di Pulau Papua. Ketika tahun 1962 Jayapura sempat disebut Kota Baru, bahkan di tahun 1964 pernah diusulkan dengan nama Kota Sukarnopura.
Menuju Wanena
Sejak dari Jakarta, kita sudah diberi bekal tentang Papua, di antaranya serba tak jelas. Semua rencana bergantung cuaca yang sering berubah-ubah. Ternata benar juga, ketik usai boarding pass, yang dalam hitungan kita, tinggal naik pesawat, tiba- tiba penerbangan ditunda dengan alasan cuaca di Wamena tidak mendukung untuk pendaratan. Kabut, katanya, masih tebal dan suit untuk didarati. Apa boleh buat, kami pun memilih rebahan di bangku pajang ruang tunggu. Semilir AC sempat melelapkan istirahat saya yang semalaman berada dalam pesawat. Satu jam berlalu, akhirnya rombongan dipanggil untuk naik pesawat.
Sekitar 30 menitan berada di udara, saya melihat dua bukit cukup tinggi, seolah menghadang pesawat. Selang beberapa saat kemudian pesawat terasa miring ke kiri. Tebing yang semula di depan berubah posisi  menjadi di sebelah kanan. Belum sadar apa yang dilihat, ternyata di kiri pun terdapat pemandangan yang sama, yakni tebing dengan pepohonan lebat. Untuk melihat ujungnya, terpaksa saya harus menongakkan kepala ke atas.  Rupanya pesawat yang kami tumpangi tengah mengiktuti alur tebing ini. Sempat miris, terlebih getaran dan lonjakan pesawat mulai terasa.
Rupanya penumpang di sebelah kami memahami perasaan was-was saya. Pria yang dari pakaian yang dikenakannya seragam tentara  berbisik, celah yang kita lalui merupakan pintu masuk Wamena, pertanda  sebentar lagi  mendarat. Benar, bisikan tentara yang mengaku Sersan Hartono  asal Solo yang sudah dua tahun berdinas di Wamena ini, terasa pesawat yang kami naiki menukik dan bless mendarat untuk kemudian berhenti di ujung landasan.