Mohon tunggu...
Besse RohmahTul chaery
Besse RohmahTul chaery Mohon Tunggu... -

no coment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

10 Vs 21

6 Juni 2012   15:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

10 Vs 21

Cinta terjerembab saat pulpennya jatuh……

Kata terakhir yang sempat ia tulis adalah mencintai itu adalah kepercayaan, ia pun terlelap dalam mimpi yang senantiasa menyapanya.

Umurnya yang masih 10 tahun itu, ia sudah pandai menuliskan kata cinta, ia mempunyai cita-cita ingin berumur 21 tahun lebih cepat. Ia ingin melihat dunia yang luas dengan umur yang ia anggap sudah besar itu. Air liurnya mulai membasahi pipinya, cinta masih saja terlelap, dengan sesekali terselip senyum kecut dibibirnya.

Bening-bening cahaya berkilauan seperti salju itu, menghiasi wajah imut Cinta…

“Bagaimana kabarmu hari ini Cinta??” Cinta terhenyak mendengar pertanyaan itu tiba-tiba. Reza pria yang selama ini dikaguminya, sedang berdiri di sampingnya dan menatapnya dengan senyum khasnya itu.

“Baik, kamu sendiri bagaimana????” Cinta berbalik bertanya dengan senyumnya yang penuh arti.

Reza duduk di samping Cinta yang masih tetap menatap kagum terhadapnya, “Baik, hari ini Raisa sepertinya tidak datang”.

Mendengar itu, ada rasa jengkel dihati Cinta, “Yah…sepertinya begitu. Apa kamu ingin bertemu dengan Raisa???” Cinta mulai menyelidik.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padanya”. Menarik nafas dengan penuh kegelisahan yang tersirat jelas dari wajahnya.

Cinta semakin gusar melihat orang yang disukainya terlihat gelisah seperti itu. Ingin rasanya ia menawarkan diri untuk membantunya, tapi ia takut akan hatinya yang nantinya akan sakit jika harus tahu yang sebenarnya. Ia melanjutkan tangannya yang terus menari dengan pulpen dan kertas yang menemaninya.

“Kamu masih suka menulis??” Reza kembali membuka pembicaraan.

“Ya…begitulah, aku tidak ingin kalah dengan Raisa yang bisa segalanya. Itukan yang kamu sukai darinya????” Cinta terhenyak sendiri mendengar pertanyaan seperti itu keluar dari mulutnya.

“Haaahhahahaaaaahhah……” Reza tertawa mendengar pertanyaan Cinta yang seperti itu. “Apa kamu cemburu?? Kenapa tiba-tiba wajahmu memerah??”

Cinta semakin salah tingkah, “Apa salah kalau aku cemburu??” Tatapan Cinta semakin serius.

“Cinta….Cinta… ternyata kamu sudah dewasa”.

“Makanya jangan menganggapku anak kecil terus, umurku sudah 21 tahun”.

“Ya…aku tahu, Cinta yang sudah pandai mengatakan kata cemburu, besok-besok mungkin kamu akan mengatakan, kalau kamu mencintai aku”. Reza semakin menatap Cinta dengan tatapan yang seolah mengejek itu.

Pembicaraan mereka terhenti saat Raisa datang dengan wajah yang murung. Reza menghampiri Raisa tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Cinta. Ada rasa ingin tahu yang teramat sangat ingin Cinta tahu tentang Raisa, mengapa ia selalu kalah dengan Raisa yang tidak begitu cantik menurutnya??

KRRRRiiiiiiiiiiNNNNgggggggg…………

Suara yang memekikan telinga, Cinta terbangun, ia menatap kosong pada wanita kasar yang berdiri tegap di hadapannya sekarang.

“Apa tidurmu nyenyak Cinta????” Ibu Veni guru matematika yang killer itu, menatap Cinta penuh amarah.

Keringat dingin mengucur keseluruh tubuh cinta, dunia terbalik dan kepalanya tiba-tiba pusing, “Maaf Bu, Cinta tidak sengaja ketiduran”.

“Ini sudah ke-2 kalinya, Ibu menemukan kamu tertidur pada mata pelajaran Ibu, apa pelajaran matematika benar-benar membuatmu mengantuk??” Tanyanya menyelidik.

“Eh…tidak Bu, hanya saja…eh…eh…” Cinta menggaruk kepalanya agar alasan yang paling tepat yang bisa ia keluarkan meluncur dengan lancar.

“Ibu akan memberikan surat panggilan kepada orangtuamu, Ibu ingin tahu apa yang membuatmu selalu mengantuk dan tertidur di jam pelajaranku, setidaknya orangtuamu harus tahu bagaimana kamu di sekolah”.

Seolah langit terpecah belah, Cinta semakin gusar dengan ancaman yang bukan sekedar ancaman itu. Ayahnya akan sangat marah jika tahu kebiasaannya ini. Cinta berlari keluar kelas, entah ia mau mencari apa, anak-anak yang masih polos seperti Cinta, seharusnya senang bermain dengan teman-teman sebayanya, tapi ia lebih senang menyendiri. Ia terus berlari, dan berhenti di sebuah tempat persembunyian kecil di belakang sekolah.

Tangannya terus membuka laci meja yang telah usang dan mencari sesuatu, buku itu ditariknya keluar, ia pun tersenyum polos, ia mengambil pulpen di tasnya dan menuliskan apa yang terjadi hari ini dengannya. Ia menuliskan sesuatu tentang gadis yang tidak disukainya itu.

Hari ini Raisa datang dan mengganggu aku yang sedang berbincang dengan Reza, ada apa dengannya??? Kenapa wajahnya murung???

Setelah menuliskan itu, hatinya sedikit tenang, ancaman Ibu Veni seolah lenyap dan terbakar panas matahari sehingga menjadi butiran debu yang mampu Cinta hapus sekali tiup saja. Langkahnya semakin pasti menyusuri jalan pulang ke rumah. Di kepalanya terus berputar nama Raisa dan reza, mengapa pertemuan mereka harus seperti itu???

“Apa yang sedang kamu pikirkan Cinta???” Kehadiran Reza secara tiba-tiba, membuat Cinta sedikit takut.

“Jangan mendatangiku di saat umurku 10 tahun, cari Raisa dan ceritakan padaku apa yang terjadi padanya”. Cinta berlari meninggalkan Reza yang terdiam.

Tidak seperti biasanya, pintu rumah Cinta terbuka lebar, keluarganya yang sangat menutup diri, sangat jarang ada tamu yang mau datang di rumahnya itu. Seseorang yang tidak dikenalnya, duduk manis di hadapan Ayah dan Bunda Cinta. Mereka seolah sedang membicarakan hal penting, sehingga semut saja tidak boleh mendengarnya. Melihat kedatangan Cinta, mereka mengakhiri pembicaraan. Cinta semakin bingung dengan tingkah para orangtua yang ada di hadapannya itu.

Wajah-wajah yang Cinta lihat ini bukan seperti wajah Ayah dan Bundanya. Apa ada kabar buruk?? Pikir Cinta. Cinta sama sekali tidak menanyakan apa-apa. Ia ingin menunggu sampai mereka yang menceritakan apa yang terjadi. Makan siang yang biasa-biasa saja, Cinta mulai membuka suasana dingin yang dirasakannya.

“Bunda, tadi aku bertemu dengan Reza, Raisa juga sih, tapi tak tahu kenapa Raisa terlihat murung”. Cinta menghela nafas, ada rasa khawatir di hatinya.

Mendengar Cinta yang berkata seperti itu, membuat Ayah dan Bundanya semakin terlihat takut, “Sayang…Raisa tidak apa-apa kok, tidak usah khawatir”.

“Bunda, Ayah, aku suka dengan Reza, tapi kenapa Reza sepertinya lebih suka dengan Raisa???” suasana semakin rumit, tanpa mendengar komentar dari Ayah dan Bundanya, Cinta berlari masuk ke kamarnya.

Tak satu pun orangtua yang akan tenang jika melihat keadaan anaknya seperti itu, dan itulah yang dirasakan oleh Ayah dan Bunda Cinta. Mereka tak tahu harus bagaimana, membawa Cinta ke rumah sakit jiwa, atau merawatnya layaknya anak-anak sebayanya yang mempunyai imajinasi tinggi. Kekhawatiran semakin memuncak jika harus mendengar Cinta bercerita tentang Raisa dan Reza.

“Apa yang harus kita perbuat dengan keadaan Cinta yang seperti ini???” Bunda Cinta menyibak kesunyian diantara dirinya dan suaminya itu.

“Kita harus mengatakan pada Cinta kalau Raisa dan Reza telah tiada, meskipun Cinta masih anak-anak, ia seharusnya sudah tahu dan mengerti apa yang terjadi”.

Tangan Cinta semakin lincah menoreh kata demi kata pada kertas yang ada dihadapannya sekarang. Tulisannya tidak karuan, ada rasa amarah yang dirasakannya. Ia ingin memberontak tapi suaranya tak sanggup keluar. Air matanya mulai membasahi pipinya yang comel itu. Nama Raisa dan Reza jelas tertulis dikertas itu, entah apa yang terjadi dengan pikiran Cinta sekarang ini. Ia merasakan sakit hati yang teramat sangat.

Kenapa kamu pergi???? Raisa… aku sadar kalau aku bukanlah teman yang baik, aku minta maaf, tapi kenapa kamu harus pergi??? Apa karena kehadiran Reza??? Dan aku menjadi pengganggu bagi kalian??

Mendengar isak tangis Cinta yang semakin menjadi-jadi, Ayah dan Bundanya berlari menuju kamarnya, melihat keadaan Cinta yang sedang malawan suasana hatinya yang entah siapa pun mungkin tidak akan mengerti, membuat mereka semakin khawatir.

“Cinta….! Kamu kenapa sayang???”

“Raisa…, Bunda, dia tidak mau memaafkan Cinta”. Tangisnya semakin menjadi-jadi, dalam pelukan hangat Bundanya, ia terlihat mulai tenang dan akhirnya ia tak bisa melawan rasa ngantuk yang telah mengajak matanya untuk pergi mencari potongan mimpi yang hilang.

Di sebuah Taman, tempat biasanya ia dan Reza bertemu. Cinta duduk manis dan menunggu Reza yang sebentar lagi akan datang. Tangannya masih menari-nari di atas kertas putih yang sebentar lagi akan menorehkan kata-kata baru lagi tentang dirinya, Raisa dan Reza.

Aku akan tetap tersenyum jika kenyataanya aku bukanlah yang kamu sukai. Pertemanan itu akan lebih indah jika aku bisa membuang rasa yang berlebihan ini.

Raisa datang dengan langkahnya yang cepat, Cinta sama sekali tidak melihat akan kehadiran Reza. Tatapan Raisa sangat tidak bersahabat, senyum pun tidak ia lakoni sebagai teman bagi Cinta. “Kita sudah dewasa Raisa”, bisik Cinta dalam hatinya.

“Apa kamu masih belum bisa terbangun dari mimpi ini, Cinta???”

Cinta menatap Raisa tidak mengerti, “Apa maksudmu berkata seperti itu??”

“Jangan hukum dirimu seperti ini, jangan jadikan khayalanmu ini sebagai alat untuk membuat kita bertiga seperti berada dalam kehidupan nyata”.

“Apa kamu sudah bosan dan tidak ingin bertemu dengan aku lagi??? Apa aku ini masih temanmu??? Bahkan Reza tidak datang, apa kalian berdua sedang merencanakan sesuatu untukku???” Mata Cinta mulai sendu, ia tak mampu menahan air matanya.

Cinta terbangun dari tidurnya, tak seorang pun yang ia temukan, tempatnya sekarang aneh dan terasa asing untuknya. Pintu tiba-tiba terbuka, dan Cinta melihat Bundanya tersenyum manis dengan sesuatu yang ia bawa ditangannya.

“Bagaimana keadaanmu sekarang sayang???” Membelai rambut Cinta yang sudah agak lama tidak tersentuh.

“Bunda… sebenarnya ini di mana??? Kamar Cinta tidak seperti ini”. Menatap Bundanya penuh harap.

“Ternyata kamu baru sadar sayang”, bisik Bundanya lirih. “Cinta kan lagi sakit, jadi tidak apa-apa kan kalau dirawat di rumah sakit dulu???” bujuknya

“Rumah sakit?? Sejak kapan Bunda?? Raisa dan Reza di mana Bunda???”

Tubuh mungil Cinta dipeluk erat oleh Bundanya, ia tak sanggup melihat Cinta yang masih menanyakan tentang Raisa dan Reza. Air matanya mengenai tangan Cinta, dan Cinta pun tersadar kalau Bundanya sedang menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk menghapus air mata Bundanya yang semakin deras itu. Ia hanya mampu memeluknya dengan erat, dan menunggu sampai Bundanya mau berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Bunda… entah kenapa kalau aku tertidur, aku pasti bermimpi bertemu dengan Raisa atau Reza. Bunda…, apa sebenarnya yang terjadi??”

“Apa Cinta tidak mengingat sesuatu saat menyebut nama Raisa dan Reza??”

“Tidak. Hanya sakit di sini Bunda”. Sambil memegang dadanya dengan sorot matanya yang penuh keyakinan.

“Bunda mau Tanya, umur Cinta sekarang berapa???”

Cinta tersenyum lirih, seolah menganggap pertanyaan Bundanya sebagai lelucon, “21...!!! ah….bukan tapi 10…!!! Ah…..!!! Memangnya kenapa Bunda bertanya seperti itu???”

Cinta semakin merasa aneh dengan tingkah Bundanya yang seperti itu, ia beranjak dari tempatnya duduk dan memperhatikan dirinya dicermin. Ia kini sadar apa yang terjadi dengannya. Ia menatap Bundanya dan tersenyum paksa.

“Bunda…. Apa aku sudah gila????”

Keheningan menyergap diantara ibu dan anak itu, Cinta masih menangis menatap dirinya yang lain. Bayangannya mulai rapuh, ia pun terkulai lemas dan tak sadarkandiri. Ia kembali berada dalam posisi yang membuatnya semakin bingung. Ia melihat Raisa dan Reza duduk berselisihan, terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Cinta menghampiri mereka, tatapan mereka kosong dan tanpa senyuman sama sekali.

Cinta masih menatap mereka, “Apa yang salah dengan ini semua???”

“Siapa yang kamu dahulukan Cinta, aku atau Reza???” Tanya Raisa tanpa melihat wajah Cinta.

“Kenapa pertanyaan bodoh seperti itu kamu tanyakan padaku? Kalian berdua sama-sama penting bagiku, aku tak bisa memilih”. Air matanya yang hangat kembali membasahi pipinya.

Tak ada lagi pembicaraan diantara mereka, Cinta berlari meninggalkan mereka. Jalan yang tadinya lengang, dari seberang sebuah mobil yang tiba-tiba datang dengan kecepatan tinggi, menghalau pandangan Cinta, kaki cinta seolah mati rasa, ia tak sanggup menghindar dan…

Brrruukkkkk……….

Darah mengalir cepat, mata Reza yang masih menatap Cinta yang selamat membuatnya bisa tersenyum dan menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sepatah kata pun. Cinta hanya terpaku menyaksikan apa yang barusan terjadi. Tangannya lemas menyentuh tubuh yang sudah tidak bernyawa itu. Sedang Raisa hanya menutup mulutnya, sebagai tanda kalau yang dilihatnya itu hanyalah mimpi saja.

Satu per satu orang-orang berdatangan dan lenyap. Tak satupun yang terlihat oleh mata Cinta. Ia berteriak tapi tak ada yang mendengar, sekarang ia mulai takut, memori otaknya mulai berfungsi kembali. Ia merasakan kejadian ini pernah terjadi dengannya. Beberapa lembaran kertas berserakan di hadapannya, dan tertuliskan sebuah kata.

Mencintai adalah kepercayaan. Aku tahu cintamu itu adalah cinta yang tulus, aku tersenyum karena melihatmu bahagia, dan aku menangis melihatmu menderita. Sudahi ini semua Cinta, kami mencintaimu. Reza dan Raisa

Cinta terbangun dari tidurnya, matanya terbelalak mencari sosok yang ingin ia temui. Ia ingin tahu apa yang dilihatnya itu kenyataan atau bukan. Pintu itu terkunci rapat, Cinta mulai memberontak dan berteriak. Beberapa orang datang dan berusaha untuk menenangkannya. Bundanya hanya bisa menangis melihat anaknya diseret bak orang gila yang sudah sangat parah. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Usahanya untuk mempertemukan Cinta dengan Raisa tidak akan pernah terjadi dan itu hanya harapan kosong.

Mimpi berikutnya, Cinta tak lagi menyaksikan apa-apa. Ia sekarang sendiri, gelap dan tak ada suara. Isaknya sesekali terdengar oleh dirinya sendiri. Sekilas bermunculan potret masa lalu yang mulai ia ingat kembali, tapi sulit baginya untuk tahu apa arti dari semua yang dilihatnya.

Cinta kembali terbangun dan mendapati Bundanya yang tertidur pulas di sampingnya, “Bunda….!!! Bunda….!!!!” Panggilnya beberapa kali.

Bundanya pun terbangun dan tersenyum manis kepada putri kesayangannya itu, “Bagaimana perasaanmu sekarang sayang??”

“Ceritakan padaku Bunda, apa yang sebenarnya terjadi dengan Reza dan Raisa??”

“Baiklah sayang”.

“Kalian bertiga adalah sahabat yang sangat kompak, tapi setelah Raisa sakit hubungan kalian agak sedikit renggang, pertemuan kalian sudah sangat jarang, Reza juga semakin jarang datang ke rumah untuk bermain denganmu karena Reza lebih suka datang ke rumah sakit untuk menemui Raisa. Awalnya kamu biasa-biasa saja, tapi setelah kamu melihat adanya pilih kasih yang dilakukan Reza, kamu mulai marah dan tidak mau berbicara lagi dengan mereka berdua. Penyakit yang diderita Raisa semakin parah, sebenarnya ia sangat merindukanmu sayang. Waktu itu dengan keadaan terpaksa, kamu datang ke rumah sakit untuk menjenguk Raisa, tapi di sana kamu melihat Reza dan Raisa berbincang dengan sangat akrab. Kedatanganmu seolah tidak dianggap oleh mereka, kamu marah pada mereka berdua dan mengatakan kalau kamu tidak ingin mempunyai teman seperti mereka berdua, kamu pun berlari keluar dari rumah sakit dan kecelakaan yang tidak diinginkan pun terjadi”.

“Apa maksud Bunda???”

“Reza berlari menyusulmu sayang, dan mendorongmu saat mobil itu hampir saja menggilas tubuhmu. Sebagai gantinya Reza yang menjadi sasarannya. Reza telah pergi sayang”.

Tubuh Cinta terkulai lemas, apa yang telah dilakukannya itu??? “Ia adalah penyebab kematian sahabatnya itu”, pikirnya. Tangannya mulai gemetar dan hanya bisamenyesali dirinya sendiri.

“Bagaimana dengan Raisa, Bunda??” Menahan air mata yang terus saja mengalir dengan derasnya.

“Sudahlah sayang, jangan pikirkan itu lagi, semuanya telah berlalu”. Menghapus air mata Cinta yang tak henti-hentinya membuat mata Cinta membengkak.

“Ceritakan semuanya Bunda, aku ingin tahu. Aku tidak ingin hidup seperti ini”.

“Raisa terkejut melihat apa yang terjadi, dia menyalahkanmu sayang, sampai dia meninggal dunia, kalian tidak pernah bertemu. Dan Raisa meninggalkan buku ini untukmu sayang”. Memberikan buku Raisa yang telah usang.

Sahabatku Cinta,

Maafkan aku yang tidak tahu dan tidak menyadari akan rasa cemburu yang kamu perlihatkan. Kamu pasti iri karena Reza lebih memperhatikan aku dibandingkan dengan dirimu. Asal kamu tahu Cinta, kami berdua rindu dengan tawa riangmu, tapi kamu lebih sibuk dengan perasaanmu sendiri. Entah kenapa rasa cemburu itu hadir dalam hatimu? Padahal umur kita masih sangat muda untuk mengerti akan arti dari kata-kata itu. Maafkan aku sobat, aku harus pergi, lanjutkan hidupmu untuk kami berdua.

Salam hangat,

Raisa

“Aku memang orang bodoh Bunda”.

Tangis Cinta semakin menjadi-jadi, pelukan hangat dari bundanya tak mampu menutupi rasa bersalah dihatinya. Melihat keadaan Cinta yang seperti itu, Bundanya pun meminta pendapat Dokter yang menangani kesehatan anaknya itu.

“Cinta adalah anak pandai, ia mengobati rasa bersalahnya dengan berkhayal seolah dirinya sudah dewasa seperti yang selalu disebutkannya kalau umurnya sudah 21 tahun, itu cara baginya agar bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu. Sebenarnya ia tidak sanggup mengakui kalau para sahabatnya telah pergi jauh meninggalkannya, pergi tepat di depan matanya, ia ingin membuang kisah kanak-kanaknya dengan segera menjadi orang dewasa”.

“Lalu apa yang harus kita lakukan Dok???”

“Kita harus membuatnya berpikir kalau Cinta yang berumur 21 tahun itu sudah mati, agar ia bisa hidup normal seperti anak-anak lain”.

“Caranya???”

“Cari seorang psikolog jiwa, sepertinya itu akan membantu mengurangi rasa bersalahnya”.

Lembaran-lembaran masa lalu kembali mengusik tidur pulas Cinta. Ia kembali bertemu dengan Raisa dan Reza. Tapi jarak mereka sangat jauh, Cinta tak dapat melihat, apakah mereka tersenyum atau tidak. Cinta berusaha melambaikan tangan, malah mereka semakin jauh saja. Langkah kaki cinta yang begitu pelan, berusaha mencapai mereka yang tetap saja semakin menjauh darinya. “Kalian pasti sangat marah dan benci padaku”, kata Cinta lirih.

Tanpa menunggu Cinta terbangun dari kisah masa lalunya, seorang psikologi jiwa yang didatangkan dari tempat jauh. Berusaha memasuki wilayah bawah sadar Cinta. Ia memberikan instruksi yang ternyata direspon balik oleh Cinta.

“Cinta…!!! Dengarkan aku baik-baik. Pintu yang ada dihadapanmu sekarang adalah pintu masa depan. Masuklah…!!!”

Cinta pun mengikutinya, ia benar-benar melihat pintu itu, dan membukanya.

“Umurmu sudah 25 tahun dan kamu masih sehat-sehat saja, jalanlah terus, berikutnya akan ada pintu lagi, dan masuklah”.

Cinta memberikan respon dengan menganggukan kepalanya.

“Umurmu sudah 29 tahun, dan penyakit mulai menggerogotimu, dan langkahmu mulai sedikit lemah”.

Cinta mulai mnunjukkan perubahan diwajahnya yang tadinya agak santai, sekarang wajahnya mulai gugup dan terlihat takut.

“Pintu berikutnya, masuklah. Umurmu sudah 34 tahun, langkahmu semakin lemas, kamu pun kehausan dan tidak menemukan air bisa kamu minum”.

Begitu seterusnya, hingga sampai pada tahap terakhir, “Pintu terakhir, masuklah. Dan kamu tak mampu lagi berdiri, dan kamu pun meninggal”.

Tahap terakhir itu benar-benar membuat wajah cinta berubah jadi tenang. Tidurnya pulas dan tanpa mengigau. Bundanya pun yakin kalau anaknya itu pasti sudah sembuh. Ia tersenyum lega, dan menunggu sampai Cinta bangun dari tidurnya.

Cinta membuka matanya, “Bunda…!!!”

“Ya… sayang…!!! Bagaimana perasaanmu sekarang??” mengelus kepala Cinta dengan penuh kasih sayang.

“Aku merasa baik-baik saja Bunda, memangnya kenapa Bunda??” menatap curiga pada Bundanya itu.

“Ah…tidak apa-apa sayang. Umur Cinta sekarang sudah yang keberapa ya??? Kok Bunda bisa lupa…!!”

“10 lah Bunda. Kok bisa-bisanya Bunda lupa??? Apa benar aku ini anak Bunda???”

“Hhahahhaaaa….ya maaf sayang”. Senyumnya lega. “syukurlah, kamu sudah kembali sayang”.

Menjalani hari-hari dengan penuh lika liku yang tak terduga, terbelenggu dalam masa lalu, sudah cukup menyita waktu bermain Cinta. Dan seperti anak-anak yang lain, Cinta kembali ceria seperti dulu lagi. Raisa dan Reza tetap berada dihatinya. Dan jika ditanya oleh Bundanya, mau menjadi anak yang berumur 10 tahun saja atau gadis dewasa 21 tahun??? Dengan senyum sumbringah Cinta memilih untuk tetap menjadi anak 10 tahun. Entah apa yang menjadi alasannya. Dan itu tetap menjadi rahasia bagi Cinta seorang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun