Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Kartu Truf Ternyata Milik Ahok

8 Maret 2016   16:21 Diperbarui: 8 Maret 2016   21:05 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak terlalu suka bicara politik dalam perspektif yang terlalu serius, selain domain saya bukanlah di bidang ini, baik secara teoritik maupun secara praktik, beberapa waktu belakangan saya juga sempat berfikiran bahwa bicara politik lebih banyak implikasi permusuhannya ketimbang topik-topik lain. Tapi kadang-kadang ada juga beberapa objek menarik yang memikat jari saya untuk menulis, termasuk soal jalur independen yang lagi-lagi ditekankan oleh Ahok dan komunitas fans pendukungnya.

Sebenarnya, jauh hari sebelum tarik ulur dukungan PDIP terhadap Ahok, Nasdem terlebih dahulu sudah curi start mengarahkan dukungan kepada pencalonan Basuki Tjahya Purnama. Deklarasi dukungan terhadap Ahok diberikan secara resmi oleh DPD Partai Nasdem DKI Jakarta dan dilangsungkan secara live di stasiun televisi yang juga menjadi corong partai, tanpa kehadiran Ahok secara langsung ketika itu.

Dengan berbagai pertimbangan standard yang selama ini sering kita dengar tentang “kehebatan” Ahok, Nasdem tanpa ragu-ragu memberikan dukungan partai untuk pencalonan mantan Bupati Belitung Timur ini, terlepas apapun reaksi yang akan diberikan oleh Ahok setelah itu tentunya. Nasdem dengan gamblang menyatakan bahwa dukungan untuk Ahok adalah dukungan tanpa ikatan alias Nasdem tidak berharap agar salah satu kadernya dipinang sebagai pendamping atau syarat-syarat politik lainya yang biasa dikenal sebagai bagian intrinsik dalam transaksi politik.

Lalu beberapa waktu kemudian, gaung pemberitaanya lenyap begitu saja, maklum cuma digembar-gemborkan secara masiv dalam waktu yang singkat dan diulang-ulang di stasiun televisi yang sama. Sehingga berbagai isu baru muncul meniban ruang publik dengan cepat. Apa yang tersisa? Yang tersisa adalah Ahok, dan lagi – lagi Ahok semata. Perihal informasi keberlanjutan dukungan Nasdem terhadap Ahok dan seperti apa follow up kedua belah pihak nampaknya hilang begitu saja.

Meskipun ketika itu, teman Ahok dan pasukannya sempat diminta keterangan perihal dukungan partai Nasdem, tapi point utama jawabanya sudah jelas bahwa hal itu tidak terlalu banyak memberi pengaruh kepada “tujuan awal” didirikannya Teman Ahok, yakni mengusung Ahok dengan sejumlah KTP yang telah ditetapkan dan dijanjikan. Jawaban tersebut jelas memberi pesan politik bahwa jalur independen adalah jalur yang berkemungkinan akan diambil Ahok dan banyak sedikitnya dianggap akan memberi guarantee politik yang lebih dari yang diberikan oleh partai.

Boleh jadi maksud idealnya adalah untuk mempertahankan originalitas kepemimpinan politik Ahok alias tidak terlalu banyak dicederai oleh negosiasi dan lobby-lobby transaksional dengan partai yang kemudian dianggap bisa membuat sang Ahok menjauh dari visi, misi, dan gaya kepemimpinanya. Sehingga dengan tetap mempertahankan “political community endurance” dari Teman Ahok, bahkan belakangan semakin meningkatkan masivitas pergerakannya, maka Ahok akan memiliki “bargaining position” sangat tinggi terhadap banyak partai yang belakangan mulai tergiur mengusung beliau pada Pilkada Jakarta 2017.

Tapi selain itu, nampaknya Teman Ahok bukan sekedar komunitas pengumpul KTP dan benteng pertahanan dari rayuan partai-partai, tapi juga sebagai komunitas dan mesin politik quasi-partai yang akan mengokohkan posisi politik Ahok, tidak hanya di mata partai-partai, tapi juga di mata semua konsituens dan stake holder Pilkada Jakarta.

 Artinya, meskipun labelnya hanya komunitas atau kumpulan para fans dan pendukung, tapi secara politis dan fungsional, komunitas ini justru bernilai lebih dari sebuah partai lantaran akan menjadi kendaraan (jalur independen) sekaligus vote getter dan vote aglomerator. Bahkan dalam kontek tertentu, nilai jualnya jauh lebih valuable dibanding dukungan partai secara organisasional, karena komunitas memiliki bukti riil (nyata) atas KTP para pendukung Ahok.

Saya kira, kondisi inilah yang membuat Ahok nyaman dengan pilihan semacam ini, apalagi jumlah KTP sudah melebihi 50% dari kebutuhan minimal. Ujungnya sudah bisa ditebak, Ahok ingin menegaskan bahwa pencalonannya adalah inisiasi sendiri yang hanya boleh diboncengi oleh kepentingan-kepentingan yang telah beliau ACC. Dengan lain perkataan, jika jalur ini akhirnya menemui titik “menjadi”, maka Ahok akan benar-benar leluasa berbuat sesuai yang beliau inginkan dan kepentingan-kepentingan yang ikut terbawa ke dalam kepemimpinannya adalah juga kepentingan-kepentingan yang benar-benar pure “Ahok Banget”, bukan kepentingan-kepentingan yang datang dari luar konteks itu.

Dengan demikian, siapapun calon wakil yang akan mendekat kepada beliau dipastikan tidak akan berani membawa banyak amunisi kepentingan, apalagi kepentingan partai yang menyorongkanya. So pendek kata, yang diinginkan Ahok dalam pencalonan kali ini dan paska terpilih nanti (jika terpilih lagi) adalah keleluasaan, terlepas apapun “makna ekonomi politik” dibalik kata “keleluasaan” tersebut. [caption caption="news.detik.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun