[caption caption="www.politicalhumor.about.com "][/caption]Joseph Stiglitz, penerima dua penghargaan nobel laureate (tahun 2001 untuk kategori ekonomi dan tahun 2007 untuk kategori perdamaian), pada kuliah umum di Central Europe University, Budapest, Hungaria, awal November 2014 lalu, dengan berat hati harus memberikan jawaban negatif atas pertanyaan yang sekaligus menjadi topik kuliah umum waktu itu. Stiglitz memberikan jawaban “No” untuk pertanyaan yang berbunyi “Can Iiberal Democracy Create shared and Sustained Prosperity?”
Di satu sisi, Stiglitz sebenarnya bukanlah ekonom yang anti kapitalisme, tapi disisi lain beliau juga bukan penganut paham neoliberalisme klasik yang secara ideologis percaya bahwa “pasar” atau “market” akan bekerja sendiri (by its self - self regulating market) untuk meningkatkan produktifitas dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi, kemudian memberikan landasan untuk lahirnya pemerataan dan kesejahteraan.
Dalam perspektif neoliberalisme, pasar tidak perlu diintervensi terlalu dalam. Tugas pemerintah hanya memfasilitasi dengan regulasi-regulasi yang diperlukan. Jika kemudian terjadi ketimpangan (inequality), disparitas pendapatan, bahkan kemiskinan, maka persoalannya terletak pada aras “distribusi” dan “redistribusi”, bukan pada kesalahan “market mechanism” (mekanisme pasar).
Sehingga konsekuensinya, pemerintah harus memberikan lebih banyak insentif kepada masyarakat yang tertinggal secara ekonomi atau kepada kelompok-kelompok marginal agar mereka bisa mengalami mobilisasi sosial (naik kelas), mulai dari insentif pendidikan, kesehatan, insentif teknologi, kemudahan kredit usaha, pinjaman untuk konsumsi rumah tangga atau pinjaman pendidikan, dan berbagai kebijakan yang berkategori “safety net” (jaring pengaman) maupun cash trasffer.
Bahkan paska dihantam krisis finansial akut tahun 2008-2009 (housing market turmoil) lalu, pendapat ini justru masih bergaung lantang di negara-negara demokrasi liberal, termasuk di dalam point-point pokok kampanye Hillary Clinton dalam kapasitasnya sebagai kandidat presiden Amerika mendatang dari Partai Demokrat, misalnya. Agenda-agenda redistributif seperti ini pula yang sejatinya telah mendudukan Barrack Obama di Gedung Putih pada tahun 2008 lalu. Dan karena itu pulalah, secara fundamental-ideologis Hillary Clinton hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan dari sayap liberal demokrat yang sudah digaungkan sejak dahulu kala, sama seperti Bill Clinton dan Barrack Obama.
Sehingga pada aras teknis, kubu demokrat akan selalu menghindar jika diminta untuk mengutak-atik pasar. Inilah salah satu sebab utama mengapa Hillary maupun pendahulu-pendahulunya selalu menjadi idola pelaku-pelaku bursa dan aktor-aktor yang melipatgandakan kekayaannya melalui sistem ekonomi pasar ala Partai Demokrat (Wall Street menyebut mereka dengan sebutan fans of market). Karena tidak ada dalam kamus partai demokrat kata-kata sakti yang kemudian akan membebankan pajak tinggi (High Taxes) pada pelaku pasar atau para kapitalis. Persoalan ketimpangan, kemiskinan, disparitas dalam berbagai aspek kehidupan, bagi mereka hanyalah persoalan “distribusi” dan “redistribusi”, bukan persoalan apakah ada penyakit akut yang menjangkiti urat nadi kapitalisme atau tidak.
Berbeda tipis dengan ideological stance partai demokrat, kubu konservatif juga percaya kepada mekanisme pasar yang super liberal. Tapi menurut kubu republican, berbagai ekses negatif yang muncul bukan hanya disisir dari sisi redistribusi (terutama soal pendapatan/income), sementara disisi lain para pemilik modal tidak ikut menanggung beban apa-apa. Dimata partai republik, persoalanya juga terletak pada porsi tanggung jawab yang sama-sama harus diseimbangkan antara masyarakat dan para pengusaha. Pajak kekayaan yang tinggi harus dikenakan kepada para pemilik modal dan para penghuni kelas atas. Silahkan pasar bergerak dinamis sebagaimana aturan main kapitalisme, namun pasar harus juga menanggung beban pajak yang besar.
Namun lebih jauh dari itu, Joseph Stiglitz nampaknya bergerak lebih progresif dari ideological stance kedua partai tersebut. Ketimpangan dan disparitas dalam berbagai aspek bukan sekedar urusan distribusi dan redistribusi atau soal beban pajak tinggi yang harus dikenakan kepada kelas tertentu, tapi juga soal fundamental ekonomi dari sistem kapitalistik itu sendiri yang mengidap beberapa penyakit akut yang akhirnya secara terus-menerus memproduksi ketimpangan, kemiskinan, dan aneka pola disparitas di dalam masyarakat.
Dengan membiarkan pasar bergerak dalam logika “self regulating market”, maka pemerintah juga telah melebarkan kesempatan (opportunity) bagi kelompok-kelompok masyarakat kaya untuk terus memperkaya diri. Dan yang lebih menyakitkan, kata Stiglitz, opportunity itu juga melebar menjadi kesempatan yang digunakan untuk mengeksploitasi kekayaan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Hal ini terjadi karena menurunnya produktifitas modal dan berkembangnya model ekonomi “rent seeking” atau ekonomi rente dimana modal-modal menginvasi dunia politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan segelintir pemilik modal sehingga mengalihkan banyak anggaran negara ke sektor-sektor yang justru tidak menguntungkan masyarakat.
Dan yang dimaksud oleh Stiglitz dengan penurunan produktifitas modal (kekayaan/wealt) adalah bahwa disatu sisi pihak pemilik modal mengalami penumpukan (akumulasi) kekayaan, tapi disisi lain kekayaan itu ternyata tidak ditempatkan pada sektor ekonomi produktif yang seharusnya bisa menciptakan “trickle down effect” pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Mereka lebih memilih untuk menempatkan modal yang terus berakumulasi tersebut ke dalam sektor finansial (perbankan, ekuitas, obligasi, surat utang, dll) agar mendapatkan imbal hasil dan bunga (rent). Begitulah orang kaya kontemporer melipatkangandakan kekayaannya menurut Joseph Stiglitz.