Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Politik Nalar Para Pecinta Nikotin

16 Maret 2016   20:08 Diperbarui: 16 Maret 2016   20:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Urusannya akan jauh semakin panjang kalau dikaitkan dengan cerita cukai rokok, pemasukan negara dari cukai, lapangan pekerjaan yang bisa disediakan industri rokok, atau televisi-televisi yang kebanjiran uang iklan dari rokok, maka akan panjang saja ceramah perokok itu, bisa habis sebungkus dua bungkus rokok untuk mendengarkannya, mungkin lebih.

Dan setelah cape memberi pengarahan, seorang kawan yang peduli dengan kesehatan kawan lainya pernah mencoba masuk ke urusan yang agak berbeda. Seorang kawan dinasehati agar jangan merokok di saat buang hajat di toilet, mana mungkin untuk urusan beberapa menit saja ditoilet dia tak bisa dinasehati. Namun jawabanya lagi-lagi khas politisi senayan, plus wajah dingin mafia Italia dan Yakuza. “Daripada saya mencium bau hajat saya sendiri kemudian menghirupnya, lebih baik saya menghirup asap rokok”, demikian jawabanya sembari membanting pintu toilet.

Dan terakhir, sebagian pasangan juga memakai dalih kesehatan bayi atau anak untuk membendung nafsu perokok laki-laki alias suaminya. Namun akhirnya yang ada sang istri capek sendiri. Selain capek menasehati, sang istri juga capek mengurus anak terlalu lama, karena sang suami menghargai permintaan istri agar tidak merokok dekat anak kecil, lantas sang suami pergi ke teras rumah atau ke palataran tetangga, bahkan ke warkop terdekat untuk merokok. Akhirnya waktu bersama anaknya alias waktu mengurus anak atas nama membantu istri jadi semakin berkurang. Memang serba salah alias salahnya sudah terlalu banyak, jadi setiap nasehat jadi terbawa salah semua.

Jadi pendek kata, berdasarkan kronologis justifikasi-justifikasi diatas, masalah rokok nampaknya secara sekilas benar- benar terlihat sama dengan masalah hati. Padahal secara logika, candu-cantu malah menempel di otak. Tapi ya mau bagaimana, diajak berlogika mereka malah berlogika dengan cerita yang lain. Mungkin pada satu titik tertentu, sang istri harus memberikan dua pilihan, pilih rokok dengan konsekuensi permintaan ditalak tiga atau pilih istri dan anak dengan catatan perjanjian di depan notaris untuk tidak akan merokok lagi.

Ini bisa saja dilakukan, jika memang diperlukan. Tapi jika rasanya belum terlalu butuh-butuh amat, ya jangan dulu lah dilakukan, apalagi kalau sang istri belum siap ditinggal suami. Karena takutnya sang suami malah memilih rokok dan memberikan talak tiga. Bisa bisa bahaya urusanya. Artinya, jika suami masih bisa menjadi jantan alias tidak jadi banci, homo, atau lambai tak karuan, dan bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang laki-laki dan layaknya seorang lelaki, ya biarkan lah dia merokok dengan jantannya. Ketimbang berhenti merokok tembakau dan cengkeh lalu mencari rokok yang level kecanduannya sudah diatas rata-rata penyakit lainya, rasanya tak ada salahnya juga dibiarkan dia merokok sejantan yang dia bisa.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun