Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Narkoba

16 Maret 2016   09:58 Diperbarui: 21 Maret 2016   15:18 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sinarharapan.co "][/caption]Ahmad Wazir Noviadi Mawardi baru saja dilantik sebagai Bupati Ogan Ilir, Sumatra Selatan, pada 17 Februari 2016 lalu. Berpasangan dengan Ilyas Pandji Alam, Noviadi atau akrab dipanggil Ovi, berhasil mengalahkan pasangan pembawa acara ternama Helmy Yahya-Muchendi Mahazarekki dan Sobli Rozali-Taufik Toha. Sebuah prestasi politik yang menurut saya cukup mentereng di umur yang masih terbilang belia secara politik karena meskipun sering gagal bertahta, toh Helmy sudah kadung tenar dengan berbagai latar yang dia miliki, mulai dari latar layar kaca sampai latar dunia kampus.

Ovi yang kini berusia 27 tahun itu sudah berstatus sebagai bupati termuda yang terpilih dalam Pilkada Serentak 2016. Ovi merupakan putra bupati sebelumnya, Mawardi Yahya yang juga telah memimpin Ogan Ilir selama dua periode. Tragisnya, karier cemerlang Ovi harus terganjal kasus narkoba. Nah, ini adalah prestasi lawan dari kata mentereng tadi, yakni memalukan secara sosial dan memilukan secara politik.

Perkara memalukan tentu tak perlu diragukan lagi, di tengah-tengah kampanye masif antinarkoba, sampai-sampai katanya BNN dipersiapkan berposisi selevel dengan kementerian, lalu ada pejabat publik yang malah dengan sengaja mengonsumsinya, bagaimana tidak memalukan, bukan? Dan perkara memilukan juga tak pula perlu diragukan. Bagaimana tidak, pilkada yang diselenggarakan secara serentak dan menghabiskan anggaran triliunan rupiah, lalu cuma menghasilakan seorang kepala daerah yang tak lama kemudian digiring ke sel tahanan atas tuduhan narkoba. Dimana letak moralitas politiknya? Dimana mau diletakan harapan pemilih yang sudah terlanjur beku di dalam kotak suara? Memilukan memang

Hal ini terungkap ketika petugas BNN menggerebek rumah Ovi di Jalan Musyawarah, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Gandus, Palembang, hari Minggu (13/3) malam. Diduga, Ovi tengah menggelar pesta sabu yang juga dihadiri Wakil Bupati Ilyas Pandji Alam. Namun, dari 18 orang yang diperiksa polisi, hanya 5 orang yang positif menggunakan narkoba dan salah satu diantaranya adalah Ovi.

Pria yang berencana melepas lajang pada April ini, disebut-sebut telah menjadi target Badan Narkotika Nasional (BNN) sejak tiga bulan lalu. Menurut sumber di BNN, sebagaimana berita yang berkembang, Ovi rutin memakai narkoba jenis sabu. Bahkan, saat pelantikan sebagai bupati pun dia diduga menggunakan narkoba. Walhasil, hari ini BNN pun telah menetapkan Ovi sebagai tersangka dan dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

Banyak yang berspekulasi, termasuk salah seorang kawan saya yang bertanya apakah ini akhir dari karier Ovi? Dan saya sontak menjawab, masihkah harus mempertanyakan karir di tengah gemuruh sesal publik pemilih Okan Holir? Sampai kapan kita harus bertanya masa depan karir dan politik para pejabat publik yang telah terbukti bersinggungan dengan masalah-masalah tak bermoral semacam itu. Jika ada pejabat publik yang tertangkap akibat mengonsumsi narkoba, sama dengan pejabat publik yang terbukti korupsi, maka sebaiknya berhenti saja bertanya tentang masa depan mereka. Jika perlu, biarkan publik lupa bahwa dia pernah jadi pejabat publik, pernah terpilih, atau pernah didaulat sebagai pejabat publik termuda, atau gelar politik apa saja yang sempat menuai puji dan puja. Mari sama-sama kita ajak pemilih untuk move on, berhenti bergunjing tentang masa depan para pencoreng kedaulatan rakyat.

Bukan soal hak politik dan hak asasi, tapi soal "kekurangajaran" politik yang sengaja disusupkan ke dalam mimpi demokrasi. Bagi saya urusannya sederhana, jika merasa punya kekurangan atau memiliki kriteria-kriteria yang secara fundamental akan mengecewakan prinsip kedaulatan rakyat, maka sedari awal gagalkan diri untuk berkontestasi, beri jalan kepada yang benar-benar terbukti punya kapasitas dan intergritas untuk maju.

Jika sudah begini, urusan malah tambah repot. Rakyat sudah mencoblos, harapan demi harapan sudah diungkapkan dan memuncak saat pilkada serentak tahun lalu. Kemudian saat harapan itu baru mencari bentuk teknisnya, pejabat terpilih justru terungkap keasliannya, yakni bukanlah sosok yang akan mewujudkan harapan-harapan itu. Ah yang benar saja, ini terasa seperti sebuah berita yang mengolok-olok pilihan rakyat. Tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk pilkada penuh harapan tersebut, bagaimana mungkin hasilnya cuma seperti ini? Hasilnya cuma seorang pemakai narkoba? Seorang penikmat hidup yang hanya mampu melihat indahnya dunia dari kacamata narkoba. Tega sekali

#Warkop Notes

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun