Misalnya, satu sudah cukup, yang penting rakyat melihat. Cukup tangkap saja satu setiap beberapa bulan sekali misalnya, lalu beritakan ke seantero nusantara, kalau perlu sampai ke pedalaman Papua sana, ke komunitas-komunitas adat yang belum paham apa itu KPK, syukur-syukur mereka bisa baca koran alias korannya tidak dijadikan bungkus gorengan terlebih dahulu sebelum dibaca. Dengan demikian, satu saja sudah cukup mewakili semua. Cukup tertangkap satu asal ramenya naudzubilah syetan melebihi pasar Senen atau Mangga Dua, maka dalam benak publik akan terbentuk memori yang masif bahwa penegak hukum telah bekerja maksimal, maksudnya bekerja habis-habisan untuk menyetir isi berita media-media utama.
Perkara bos koruptornya nanti minum kopi bersama KPK atau bersama jenderal polisi di sebuah warung sate (mungkin mereka gila, pesan kopi kok di warung sate), itu perkara lain. Itu perkara silahturahmi saja. Kita kan memang orang timur. Interaksi langsung sangat dibutuhkan untuk menandakan bahwa kita adalah makluk sosial yang berperadaban tinggi, mungkin lebih tinggi dari Monas atau Menara Petronas, bisa jadi.
Selain orang timur totok, kita juga orang timur yang bekas dijajah (kayaknya tak perlu bangga soal ini), maka ada budaya Eropa juga yang terbawa. Jadi selain interaksi langsung, cipika-cipiki tentu diperlukan pula. Ini atas nama silahturahmi lho, tak peduli apakah yang satu KPK dan yang satu calon tersangka KPK (itupun kalau KPK mau menersangkakan, kalau tidak yang kita bisa apa).
Bermodal ini pula para koruptor-koruptor yang sudah ditersangkakan berani tampil bak selebriti setelah diberondong beberapa puluh pertanyaan oleh KPK. Mereka keluar gedung, lambaikan tangan ke kamera, satu dua ada yang selfie pula, bahkan menyempatkan wefie dengan beberapa wartawan, kemudian cengengesan ketika diberondong pertanyaan. Mau membela diri serba tanggung, tak enak membela diri karena sudah terlanjur memakai baju warna oranye, almamater kebanggaan para mahasiswa kampus KPK.
Tak membela diripun rasanya malu, lha wong sebelum ditersangkakan sempat mencak-mencak mengatakan dirinya bersih, kalau perlu gantung di Monas jika ada sepersen uang haram yang parkir di rekeningnya, lalu mendadak tidak bela diri? Di mana konsistensinya? Di mana harga dirinya sebagai tersangka korupsi? (Emang masih punya ya?)
Di tengah kebimbangan itulah akhirnya mereka berusaha membuat para pewarta lupa, dengan cara lambai tangan dan sentuhan halus bermodalkan niat ikhlas untuk silahturahmi, lalu melayani sesi foto bak artis yang dikerubuti pecinta-pecintanya. Inilah hasil dari tradisi silahturahmi bercampur pizza Eropa tadi. Masalah bisa sejenak dikesampingkam atas nama persaudaraan dan pertemanan, tak penting apakah yang dikorupsi adalah jatah makan para fakir miskin di pinggiran Danau Toba sana.
Lalu masalahnya apa? Ya tak ada masalah. Bukankah semuanya karena silahturahmi dan atas nama silahturahmi. Mereka memakan uang negara secara bersama-sama karena alasan silahturahmi. Saling memberi maaf dan memberi perhatian, memberi respon positif dan menanyakan nomor rekening, lalu saling memberi proyek dan saling menerima persentasenya. Artinya, jangan sok-sok anti-korupsi jika tak paham artinya.
Maksudnya, yang teriak anti-korupsi ya mbok dibedakan waktunya kapan harus teriak anti-korupsi dan kapan harus selfie bersama tersangka kasus korupsi. Jika lagi demonstrasi, ya silahkan habiskan suara untuk mencaci mereka, jika di warung kopi bersama objek demonstrasi/si tersangka korupsi, ya mbok kopinya dihabisin dulu lalu tak masalah apakah si tersangka yang membayar di akhirnya. Itu beda perkara tentunya. Karena perkara siapa yang akan membayar adalah perkara silahturahmi, perkara perkawanan, tak ada urusan dengan korupsi.
Nah, dalam konstelasi korupsi yang demikian, hati-hatilah anda jika tak berniat korupsi. Lha wong budayanya sudah memberi ground yang kondusif untuk itu, lalu anda berani-beraninya untuk tidak korupsi, ya hati-hati saja. Giliran anda sudah dekat, jika tak dikambing hitamkan lalu masuk KPK, minimal dimutasi sampai ke Perbatasan Papua. Itu saja. Jadi ya korupsilah selagi bisa, sebelum anda dikorupsi dan sebelum ajal menghampiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H