[caption caption="www.dreamstime.com"][/caption]Pemerintah melalui BPS telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015. Menurut data BPS, perekonomian nasional hanya tumbuh 4,79% alias turun dari angka pertumbuhan 5,02% yang ditorehkan tahun 2014. Tingkat pertumbuhan final 2015 ini dirilis setelah pencapaian pertumbuhan triwulan IV-2015 tercatat sedikit membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Triwulan IV-2015, pertumbuhan ekonomi nasional terhitung 5%.
 Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan komponen ekonomi dari sisi permintaan, terutama konsumsi rumah tangga tercatat melambat, dari 5,14% pada tahun 2014 menjadi 4,96%. Akan tetapi, kontribusi konsumsi rumah tangga masih terhitung sangat dominan dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar 55,91% alias hanya turun tipis sebesar 0,06% dibanding tahun sebelumnya.
 Penurunan daya beli masyarakat menjadi tertuduh mengapa tingkat konsumsi rumah tangga mengalami pelemahan. Pasalnya, penghasilan masyarakat tertekan oleh kenaikan harga jual BBM akhir tahun 2014 dan depresiasi nilai tukar Rupiah. Walaupun inflasi 2015 tercatat cukup rendah, yakni sebesar 3,35% pada akhir tahun, tetapi pendapatan masyarakat tetap saja tergerus pada bulan-bulan sebelumnya, terutama karena gagalnya pemerintah mengedalikan harga bahan pokok.
 Data menunjukan, inflasi secara year to date dari awal tahun 2015 hingga Oktober 2015 bergerak pada kisaran 6,25% hingga 7,26%. Inflasi mulai melemah ketika dampak kenaikan BBM tahun 2014 mulai terkikis pada November 2015. Saat itu, kenaikan harga umum hanya terhitung 4,89%.
 Harus diakui, realisasi inflasi 2015 tercatat jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Inflasi 2014 dan 2013 masing-masing 8,36% dan 8,38%. Namun demikian, pencapaian inflasi 2015 tetap saja layak dikatakan kurang menggembirakan. Pasalnya, struktur inflasi masih tetap sama alias didominasi harga barang-barang bergejolak (volatile food).Â
Akhir tahun 2015, inflasi barang-barang bergejolak (inflasi non inti) naik 4,84%, jauh di atas inflasi umum. Komponen makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau bergeliat labih tinggi, bahkan sampai dua kali dari inflasi umum sebesar 6,42%. Sedangkan kelompok bahan makanan melonjak 4,93%. Pada bagian lain, inflasi inti dan inflasi barang-barang yang diatur pemerintah naik 3,95% (yoy) dan 0,39% (yoy).
 Dari sisi yang lain, pendapatan per kapita penduduk dalam rupiah tercatat mencapai Rp 45,18 juta atau naik 7,83% (yoy). Sedangkan dalam ukuran dollar AS, pendapatan per kapita turun 4,35% (yoy) dari US$ 3.530,55 menjadi US 3.377,14. Hal ini karena realisasi nilai tukar yang ternyata tercatat jauh dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 12.500 per dollar AS.Â
Faktanya, pertumbuhan pendapatan per kapita tersebut hanya terasa bagi golongan menengah ke atas. Karena upah buruh di perdesaan serta upah buruh informal di perkotaan tumbuh tidak lebih cepat dari inflasi. Bahkan upah buruh tani justru turun sekitar 0,9% (yoy) pada Desember 2015. Sementara itu, upah buruh bangunan (per hari) hanya naik 0,89% (yoy) dan upah pembantu rumah tangga (per bulan) naik 0,98% (yoy).
 Nah, jika dilihat dari sisi penawaran, terutama aktivitas sektor-sektor padat karya (tradable), ternyata juga terjadi perlambatan yang cukup berarti. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya naik 4,02% (yoy), turun dari tahun sebelumnya sebesar 4,18% (yoy). Pelemahan harga komoditas global nampaknya benar-benar telah mengganggu sektor yang berbasis sumberdaya alam ini, terutama sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini tercatat melambat hingga 5,08% (yoy) pada tahun 2015. Sebenarnya sektor pertambangan dan penggalian sudah mulai melambat sejak tahun 2014 lalu yang hanya terhitung naik 0,55% dari tahun sebelumnya.
 Sementara itu, pertumbuhan sektor industri pengolahan tergerus tipis, dari 4,63% (yoy) pada 2014 menjadi 4,25% (yoy). Tak pelak, penurunan sektor ini diikuti pula oleh penurunan pangsa pasarnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 21% menjadi 20%. Penyerapan tenaga kerja industri pengolahan pun tergelincir dari 16,38 juta (Februari 2015) menjadi 15,25 juta (Agustus 2015). Ada beberapa hal yang menyebabkan perlambatan sektor industri pengolahan.
 Diantaranya adalah belum berjalannya paket-paket kebijakan pemerintah, terutama untuk sektor ketenagalistrikan dan realisasi investasi asing yang juga ikut terkoreksi hingga 12% (yoy), dari Rp 63,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 55,5 triliun. Pun realisasi industri makanan dan persepatuan juga terkoreksi hingga 18,4% (yoy) dan 16,7% (yoy).