Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jokowi di Antara Sudirman dan Rizal Ramli

6 Maret 2016   10:51 Diperbarui: 6 Maret 2016   11:02 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya agak malas bicara politik, tapi kok semakin didalami mengapa Sudirman Said dan Rizal Ramli tak pernah akur, justru semakin keliatan sisi politisnya. Basinya lagi, pertarungan kepentingan itu bersembunyi dibalik perkara beda angka antara opsi onshore dan offshore, yang sama-sama diklaim hasil feasebility studies yang akuntabilitas scientifiknyanya bisa dipertanggungjawabkan.

Dibalik beda angka tersebut, kenapa harus ada pengusaha pemasok pipa dan pengusaha pengadaan teknologi eksplorasi pertambangan baru? Lalu yang bicara kepentingan masyarakat Maluku siapa? Yang bicara UUD 1945 yang mengharuskan tanah, air, dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak siapa?

Saya secara pribadi hanya bisa berharap bahwa ada yang berdiri di atas dua perbedaan angka ini. Berdiri gagah dengan mengatakan demi rakyat dan UUD 1945, berhentilah bertengkar untuk bangsat-bangsat yang mangakali kekayaan ibu pertiwi hanya demi segelintir perut yang memang sudah gendut. Ini tentu bukan perkara anda mendukung Jokowi atau bukan, tapi ini perkara sejauh mana istana membuktikan dirinya sebagai penyambung lidah dan kepentingan rakyat, terlepas siapapun yang sedang menguasai istana.

Karena ini bukan lagi era pemilihan presiden. Ini bukan lagi eranya kampanye recehan yang berkedok demokratisasi ruang publik. Silahkan mengkritik, tapi jangan mendelegitimasi hasil demokrasi elektoral yang sudah diakui secara de jure dan de fakto. Demokrasi membutuhkan konsistensi dan sustainabilitas. Tidak menerima hasil demokrasi elektoral bukan berarti harus merusak irama demokratisasi itu sendiri. Menggapainya tidak mudah, menjaganya jauh lebih tidak mudah. Jadi sudah bukan waktunya membandingkan pemimpin terpilih dengan calon-calon sebelumnya karena ini bukan era kampanye lagi. Sekarang persoalanya, bagaimana caranya agar penguasa istana bisa berdiri bersama rakyat di antara dua perseteruan yang sudah tidak pure demi rakyat lagi.

Jika harus berdiri pada salah satu opsi, onshore atau offshore, maka penguasa harus menjelaskan kepada publik sejelas-jelasnya bahwa itu adalah opsi untuk rakyat dan untuk Indonesia. Jika harus ada pengusaha dan konglomerasi yang membuntuti, yakinkan publik bahwa keterlibatanya seturut dengan aturan yang ada dan dapat dikontrol oleh publik, baik dikontrol secara konstitusional maupun secara politik.

Pertama, tentu Jokowi harus mengompetisikan dua opsi ini secara scientifik melalui lembaga-lembaga research yang kompeten dan netral untuk menjawab pertanyaan tentang kalkulasi yang tepat. Apakah kalkulasi teknis onshore dan offshore yang berkembang sudah sesuai hitungan profesional, baik dari Inpex dan Shell maupun dari Kemenko Kemaritiman. Yang kedua, Jokowipun harus membuktikan secara ilmiah dan politis bahwa pilihan atau opsi yang diambil benar-benar bersubstansi sama dengan kepentingan negara, kepentingan rakyat Masela, dan pembangunan Daerah Masela serta Maluku.

Ketiga, pemerintah harus memperlebar kran-kran kontrol publik atas semua proses pemutusan opsi tersebut sampai proses dimulainya pengerjaan, terutama kontrol dari masyarakat dan semua element civil society di Maluku. Kelima, membuat sebuah subsystem dimana dana bagi hasil atau dana apapun yang dikantongi negara dari blok Masela, tekontrol secara baik dan transparan, lalu diketahui seluk-beluk penyaluranya, terutama untuk rakyat Masela dan Maluku. Apakah dengan membangun lembaga pengelolaan tensendiri atau langsung melalui pemerintah daerah.

Dengan begitu, istana akan lebih fair menempatkan dirinya dalam masalah blok Masela. Pemerintah, terutama Jokowi, harus betul-betul konfiden dengan kekuasaannya untuk menyelesaikan perbedaan di dalam kabinetnya. Jangan sampai publik terus menggulirkan tanya bagaimana bisa satu kabinet berbeda kepentingan. Karena pertanyaan semacam ini hanya akan membusukan kualitas kepemimpinan Jokowi dan menyudutkan kredibilitas konstitusionalnya.

Publik menunggu keberanian beliau, menunggu pembuktian kekuasaan dan kewenangan seorang presiden dalam menertipkan para pembantunya. Sudah bukan waktunya lagi Jokowi bereaksi dan memainakn politik "santai" seperti salah satu lagu Rhoma Irama, tapi ini adalah waktu untuk mengucapkan "terlalu" seperti yang sering diucapkan Bang Haji. Karena ketegasan semacam ini, tidak hanya akan memastikan Blok Masela ada dalam jalur yang benar, tapi juga memastikan kualitas dan sustainabilitas kepemimpinan seorang Jokowi. Mari kita dukung***

[caption caption="finance.detik.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun