Indonesia memiliki banyak suku dan budaya yang diwariskan generasi ke generasi dari leluhur. Salah satu suku dan budaya yang diwariskan dari leluhur adalah Budaya Carok. Budaya carok merupakan salah satu wujud kearifan lokal budaya yang ada di Indonesia dari masyarakat suku Madura. Carok sendiri adalah sebuah ritual pemulihan harga diri seseorang dari suku Madura yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita atau secara singkat pemulihan harga diri demi sebuah kehormatan. Cara ritual pemulihan dirinya adalah dengan bertarung menggunakan senjata khas Madura yaitu senjata celurit untuk menyerang lawannya yaitu selaku pihak yang menginjak-injak harga diri pihak lainnya.
Pada umumnya, kasus carok diawali dengan konflik-konflik yang mengakibatkan perasaan pelecehan terhadap harga diri seseorang. Untuk mendapatkan kembali harga diri tersebut, pihak yang merasa dirusak harga dirinya akan meminta ritual carok dan akan didukung oleh lingkungan sosial sehingga terjadi proses carok tersebut. Sebelum melakukan duel antar dua masyarakat yang berkonflik, umumnya masyarakat yang akan melakukan carok meminta restu dan menitipkan pesan terhadap keluarganya apabila dirinya meninggal dunia ketika melakukan carok. Semua pihak yang berhasil atau menang membunuh lawannya akan menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga.
Namun, orang Madura telah lama terbiasa menyelesaikan sebuah masalah dan konflik dengan musyawarah, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dengan permasalahan lain. Musyawarah, perdamaian, dan saling memaafkan selalu diutamakan dalam penyelesaian konflik ini. Selain itu, masyrakat Madura tidak melakukannya dengan terburu-buru untuk menyerahkannya permasalahan ke peradilan negara. Adanya peradilan negara justru membuat beberapa masyarakat Madura mendapatkan beban nilai-nilai dan juga beban hasil dari sistem formal peradilan negaran. Hal- hal ini yang membuat masyarakat lebih memilih jalan keluar dengan tradisi carok dibanding menggunakan peradilan negara.
Menurut masyarakat suku Madura, menjunjung harga diri itu lebih penting dibandingkan nyawa. Ketika masyarakat suku Madura merasa harga diri terinjak dan dilecehkan orang lain yang menimbulkan malo atau rasa malu. Rasa malu muncul karena dipandang tada' ajina yang memiliki arti "tidak ada harganya". Dikalangan masyarakat madura dikenal adanya slogan "lebbi bagus pote tollang atembang pota mati" yang memiliki makna "lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu".
Namun masyarkat suku Madura memiliki dua sudut pandang yang berbeda mengenai tradisi carok. Sebagian masih menyatakan dan melakukan bahwa kasus carok dilakukan untuk membela harga diri dan kehormatan (Wiyata, 2006: 230). Tetapi dari beberapa sumber yang saya baca, sebagian masyarakat Madura tidak menyetujui bahwa carok menjadi jalan terakhir untuk menangani sebuah konflik dan permasalahan. Sebab mayoritas masyarakat Madura menganut agama islam. Mereka memahami bahwa membunuh merupakan salah satu dosa besar dalam agama ajaran islam.
Kesimpulan
Masyarakat suku Madura memiliki nilai persaudaraan, cinta perdamaian dan nilai musyawarah yang tinggi. Tidak seharusnya menggunakan budaya tradisi carok untuk menjadikan solusi untuk menyelesaikan masalah. Sebenarnya, budaya madura memiliki banyak nilai yang baik, tetapi beberapa orang menggunakan nilai yang buruk untuk menutupinya (Wiyata, 2006: 18).
Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah carok dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya Madura, penting mempertimbangkan budaya musyawarah sebagai bagian dari nilai-nilai budaya yang ada dimasyarakat Madura. Jika dominasi hukum negara dalam segala aspeknya dikurangi, upaya ini dapat berhasil. Tidak semua konflik di Madura secara langsung diselesaikan melalui proses hukum negara. Sebaliknya, nilai-nilai budaya masyarakat Madura, seperti musyawarah, digunakan untuk menjadi jalan untuk menyelesaikannya permasalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H