Cancel culture merupakan fenomena sosial yang semakin populer di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Cancel culture adalah perilaku menghukum atau mengucilkan orang atau kelompok tertentu di publik sebagai tanggapan terhadap pendapat atau tindakan yang dianggap tidak etis atau kontroversial. Di Indonesia, cancel culture dapat dilihat dalam banyak hal, mulai dari kontroversi di media sosial hingga masalah sosial yang signifikan. Fenomena cancel culture di Indonesia akan dianalisis menggunakan teori ekologi Bakker, teori psikologi lingkungan yang digunakan untuk memahami interaksi antara organisme dan lingkungannya. Teori ini menyatakan bahwa lingkungan adalah produk dari interaksi antara makhluk hidup dan lingkungan yang saling terkait dan memengaruhi satu sama lain.
Pada cancel culture, lingkungan bisa diartikan sebagai ruang publik di media sosial atau platform-platform digital lainnya. Perlu dipahami bahwa cancel culture dapat memainkan peran positif dalam membantu mengkritik dan memperbaiki perilaku yang tidak etis atau merugikan. Namun, tekanan dari pihak-pihak tertentu yang berlebihan dan tidak tepat dapat mengganggu. Dalam konteks cancel culture di Indonesia, kita sering melihat tren di mana opini atau tindakan seseorang, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti agama, ras, atau politik, dapat dengan cepat memicu reaksi berantai yang mengarah pada pembatasan kebebasan berbicara dan ekspresi. Dalam hal ini, masyarakat atau kelompok yang memobilisasi untuk menghukum individu tersebut, dapat menjadi dominan dalam menentukan nasib mereka. Namun, terkadang terdapat resistensi dan adaptasi. Beberapa individu atau kelompok mungkin mengembangkan strategi untuk menghindari atau melawan tekanan cancel culture, misalnya dengan memperkuat kelompok pendukung atau dengan meningkatkan kehadiran mereka di platform-platform alternatif.
Penting untuk diingat bahwa cancel culture bukanlah fenomena yang terisolasi, tetapi merupakan hasil dari dinamika kompleks antara individu, kelompok, dan struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik diperlukan untuk memahami dan mengatasi dampaknya. Dalam konteks teori ekologi Bakker, pendekatan yang inklusif dan berpusat pada pemulihan mungkin dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih seimbang di media sosial dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini termasuk pendekatan yang menghargai keragaman pendapat, mendukung dialog terbuka, dan mempromosikan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan cancel culture yang berlebihan.
Dengan demikian, sambil terus memperhatikan isu-isu etika dan keadilan, kita juga harus memperhatikan keseimbangan ekosistem digital yang lebih luas. Hanya dengan demikian kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertukaran ide dan pandangan yang sehat, tanpa mengorbankan kebebasan berbicara dan pluralisme dalam prosesnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H